Semangat ajaran Kitab Suci itu dipertegas lagi dengan firman Allah SWT, “Dan barang siapa yang dikehendaki oleh Allah SWT untuk diberi hidayah, maka orang tersebut akan dilapangkan dadanya untuk menerima Islam; Dan barang siapa Allah menghendakinya sesat, maka Dia jadikan dada orang tersebut sempit dan sesak, seolah-olah naik ke langit.” Q S. al-An’am/6:125.
Oleh karena itu, jelas sekali bahwa sikap terbuka adalah bagian dari iman. Sebab seseorang, seperti yang memiliki sifat sebagaimana orang kafir seperti yang disebutkan di atas, tidak mungkin dia menerima kebenaran jika dia tidak membuka diri. Oleh karena itu, sikap tertutup sebagaimana yang disebutkan ayat di atas, merupakan indikasi kesesatan.
Sedangkan sikap terbuka itu sendiri adalah bagian dari sikap “tahu diri”, yaitu tahu bahwa diri sendiri mustahil mampu meliputi seluruh pengetahuan akan kebenaran.
Sikap “tahu diri”, dalam makna yang seluas-luasnya adalah kualitas pribadi yang amat terpuji, sehingga kata bijak mengatakan, “Barangsiapa yang tahu akan dirinya, maka ia akan tahu akan Tuhannya.”
Artinya, kesadaran orang akan keterbatasan dirinya adalah akibat kesadarannya akan ketidakterbatasan dan kemutlakan Allah SWT. Jadi, tahu diri sebagai terbatas adalah isyarat tahu tentang Tuhan sebagai Yang Tidak Terbatas, yang bersifat serba Maha.
Dalam tingkah laku nyata, “tahu diri” itulah yang membuat orang juga rendah hati, bukan rendah diri. Dan sikap rendah hati itu adalah awal dari adanya sikap jiwa yang suka menerima terhadap kebenaran. Inilah pangkal iman menuju kebenaran.
Tulisan ini dikutip dari salah satu tulisan almarhum Cak Nur, Allahummagfir lahu. Allah A’lam. ***
Makassar, 26 April 2022