Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Betapa luas dan dalamnya ilmu pengetahuan yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia, agar senantiasa mau belajar dan belajar agar "tahu diri", bahwa pengetahuan yang diperolehnya hanya setetes dari pengetahuan yang dimilik oleh Allah SWT.
Dalam QS al- Zumar/39:17, Allah SWT berfirman, “... Maka berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku. Yaitu mereka yang mendengarkan perkataan, kemudian mengikuti mana yang terbaik. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah SWT dan mereka itulah orang-orang yang berakal budi.”
Menurut firman Allah SWT tersebut, salah satu ciri orang yang menerima hidayah dari Allah SWT ialah bahwa ia suka belajar mendengarkan perkataan yang kata al-Razi dan al-Thabari dapat meliputi sabda-sabda Nabi dan firman Ilahi, serta pendapat sesama manusia, kemudian dia berusaha memahami apa yang dia dengar itu dan mengikuti mana yang terbaik.
Disebutkan dalam firman di atas bahwa orang- orang yang berperilaku demikian itu orang-orang yang berakal budi.
Ajaran yang terkandung dalam firman di atas sejalan dengan beberapa firman yang lain, yang kesemuanya dapat disebut sebagai nilai keterbukaan.
Nabi sendiri, sebagai teladan kaum beriman, dipuji Allah SWT sebagai orang yang lapang dada, karena memang dijadikan demikian, sebagainana firman Allah SWT dalam surat al-Insyrah.
Dan sejalan dengan itu pula, maka Alquran mengkritik orang-orang kafir yang salah satu ciri mereka ialah, jika mereka diingatkan akan suatu kebenaran, mereka berkata, hati kami telah tertutup, jadi tidak sanggup lagi mendengarkan firman Allah SWT atau pendapat orang lain.
Padahal yang terjadi ialah, Allah SWT mengutuk mereka karena sikap mereka yang menolak kebenaran yang disampaikan, sehingga mereka pun memang sedikit sekali kemungkinan untuk beriman QS al- Baqaroh/2:28.
Semangat ajaran Kitab Suci itu dipertegas lagi dengan firman Allah SWT, “Dan barang siapa yang dikehendaki oleh Allah SWT untuk diberi hidayah, maka orang tersebut akan dilapangkan dadanya untuk menerima Islam; Dan barang siapa Allah menghendakinya sesat, maka Dia jadikan dada orang tersebut sempit dan sesak, seolah-olah naik ke langit.” Q S. al-An'am/6:125.
Oleh karena itu, jelas sekali bahwa sikap terbuka adalah bagian dari iman. Sebab seseorang, seperti yang memiliki sifat sebagaimana orang kafir seperti yang disebutkan di atas, tidak mungkin dia menerima kebenaran jika dia tidak membuka diri. Oleh karena itu, sikap tertutup sebagaimana yang disebutkan ayat di atas, merupakan indikasi kesesatan.
Sedangkan sikap terbuka itu sendiri adalah bagian dari sikap "tahu diri", yaitu tahu bahwa diri sendiri mustahil mampu meliputi seluruh pengetahuan akan kebenaran.
Sikap "tahu diri", dalam makna yang seluas-luasnya adalah kualitas pribadi yang amat terpuji, sehingga kata bijak mengatakan, “Barangsiapa yang tahu akan dirinya, maka ia akan tahu akan Tuhannya.”
Artinya, kesadaran orang akan keterbatasan dirinya adalah akibat kesadarannya akan ketidakterbatasan dan kemutlakan Allah SWT. Jadi, tahu diri sebagai terbatas adalah isyarat tahu tentang Tuhan sebagai Yang Tidak Terbatas, yang bersifat serba Maha.
Dalam tingkah laku nyata, "tahu diri" itulah yang membuat orang juga rendah hati, bukan rendah diri. Dan sikap rendah hati itu adalah awal dari adanya sikap jiwa yang suka menerima terhadap kebenaran. Inilah pangkal iman menuju kebenaran.
Tulisan ini dikutip dari salah satu tulisan almarhum Cak Nur, Allahummagfir lahu. Allah A'lam. ***
Makassar, 26 April 2022