Selama lima tahun di kampus UMI, Farid tidak kutu buku. Dia memasuki berbagai organisasi, baik intra, maupun ekstra kampus. Tujuannya hanya satu, melatih, sekaligus mematangkan dirinya agar kelak menjadi seorang pendekar hukum yang piawai.
“Alhamdulillah. Saya bersyukur kepada Allah, lantaran apa yang saya dambakan menjadi sarjana hukum tercapai. Saya diwisuda pada tahun 2000. Dan, tidak lama kemudian, saya mengikuti seleksi Calon Hakim, hingga kemudian dinyatakan lulus dan terangkat pada tahun 2001 menjadi Pegawai Negeri Sipil / Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan,” ujarnya, seraya mengakui, sambil menunggu menjadi hakim, dia melanjutkan studi S2 pada program Magister Hukum juga di kampus Universitas Muslim Indonesia.
Selama lima tahun sebagai calon hakim, yakni dari 2000 hingga 2005, SK yang ditunggu-tunggu pun tiba ditangannya, sebagai hakim. Dalam SK tersebut, untuk pertama kalinya, dia ditempatkan di PN Labuha, Maluku Utara.
Tentunya, ini merupakan sebuah proses yang panjang, tetapi harus dilalui. Sekalipun sebagai hakim pemula, namun Farid dilibatkan dalam berbagai persidangan, bukan saja di PN Labuha, melainkan hingga di Kecamatan Sula di Sanana—Sanana kini menjadi ibukota Kabupaten Kepulauan Sula. Dia bersidang di sana selama 7 bulan.
Menurutnya, sebagai seorang hakim, tentunya harus mengikuti aturan. Misalnya soal mutasi. “Ya wajar saja, seorang hakim dimutasi. Sebab, dalam menjalankan tugasnya, sebagaimana tertera dalam SK KMA Nomor 48/KMA/SK/II/2017 tentang pola promosi dan mutasi hakim pada empat lingkungan peradilan. Disitu menggariskan minimal 3 tahun dan maksimal 5 tahun hakim biasa tingkat pertama dan minimal 3 tahun, maksimal 4 tahun bagi hakim biasa tingkat banding. Artinya, selama menjadi hakim, maka selama itu pula akan berpindah-pindah tugas, hingga memasuki masa purnabakti,” tuturnya.
Karenanya, Farid mengaku menerima mutasi kemanapun dengan lapang. Itu karena, sejak menjadi hakim tahun 2005, hingga tahun ini (2022) mutasi itu telah dilalui, hingga kesekian kalinya. Mulai dari PN Labuha, di Tual, di Pengadilan Negeri Kotamobagu, di PN Pangkajene dan Kepulauan, hingga kemudian menjadi Hakim Klas IB, sekaligus ketua di PN Maros (ketua PN termuda). Kini hakim di PN Makassar.
Selama berkarir sebagai Hakim, Farid selalu memiliki talenta, dan energik dalam bekerja. Dia pernah juga menjabat sebagai Humas lingkup pengadilan negeri. Baginya, Humas memiliki hubungan kedekatan yang baik dengan teman-teman media. “Bagi saya, tanpa media, orang tentunya tidak akan mengenal pengadilan, ataupun Mahkamah Agung,” tambahnya.
Selama mengabdi sebagai hakim, Farid mengaku menerima tugas apapun yang diberikan pimpinan. Tugas berat pun telah dilalui ketika menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri / Perikanan Tual, dan sebagai Ketua Pengadilan Negeri /Perikanan Tual sekitar 2 tahun. Termasuk, ketika diberi amanah sebagai Ketua Pengadilan Negeri Pangkajene Sulawesi Selatan, selama 3 tahun. “Tentunya, inilah sebuah tugas negara yang sangat berat diamanahkan kepada saya,” imbuh Farid.
Di sela-sela kesibukannya, Farid masih diberi tugas oleh Pimpinan Mahkamah Agung RI. Salah satunya menyidangkan Perkara Tindak Pidana khusus Korupsi di Pengadilan Negeri Makassar KLas I A Khusus. Berbagai perkara Tindak Pidana Korupsi di Sulawesi Selatan pernah dijalani. Sekalipun berat, namun sebagai abdi negara, Farid selalu mengatakan, apapun tugas, dan seberat apapun itu harus diselesaikan sampai akhir.
Farid mencontohkan, perkara tindak pidana Korupsi Puskesmas Tahap I Batua Kota Makassar yang melibatkan 13 terdakwapun harus dilalui sebagai Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara ini, termasuk kasus yang menghebohkan deposito fiktif Bank BNI Cabang Makassar sebesar Rp 60 miliar. (din pattisahusiwa)