“Kami hanya bermodalkan kepercayaan para nelayan saja. Hanya itu modal kami,” ujar Midun dalam wawancara di pondok kecil perempuan yang tanahnya sebagian mereka beli.
Sekembali istrinya dari pasar dan menjajakan ikan, barulah uangnya diserahkan kepada para nelayan. Begitulah rutinitas Ina Sei dan Midun selama beberapa tahun. Ina Sei menjunjung ikan di kepala dan tangannya pun juga membawa ikan. Apalagi saat itu, harga ikan masih murah. Dia menjual keliling mulai dari dekat pantai hingga ke Wora, salah satu desa yang ada di Kecamatan Wera yang berdiri sendiri sebagai desa pada tahun 2006. Jarak yang ditempuh belasan, bahkan hingga puluhan kilometer.
Pasangan ini setelah menikah, sekitar 5-6 tahun belum memiliki momongan. Setelah lahir anak pertama, bersamaan pula, hubungan dengan mertua akhirnya berjalan mulus.
“Mungkin kesengsaraan hidup kami tidak ada duanya se-Tanah Bima,” kata Midun.
“Bagaimana hubungan dengan mertua sekarang ?,” usut penulis.
Hubungan dengan mertuanya kini sudah membaik seiring dengan sukses yang diraih pasangan ini, bertepatan pula dengan lahirnya anak pertama mereka. Midun tidak memiliki rasa dendam sama sekali atas perlakuan mertuanya pada masa lalu. Malah kalau mertua mengadakan hajatan, Midun yang paling cepat berdiri di barisan depan.
Dalam bisnisnya sekarang, hingga dia duduk bersama penulis, Midun tidak pernah meminjam kepada siapa pun, termasuk kepada mertuanya. Hanya modal kejujuran saja yang dia andalkan. Membawa ikannya orang, setelah laku baru dibayar. Dulu, lokasi saung Ina Sei bagaikan hutan rimba. Pohon-pohon raksasa masih banyak tumbuh. Jalan masih penuh bebatuan dan berdebu. Dalam kondisi seperti itulah Ina Sei-Midun menginap di pinggir pantai. (Bersambung)