Mardiana mengajukan beberapa pertanyan sekaligus jawaban Pertama “Apa substansi lain yang urgen dan perlu dimasukan dalam pengaturan RUU tentang Praktik Psikologi?
Pengecualian Psikolog Klinis tidak hanya dalam penerbitan STR dan SIP tetapi juga terkait pendidikan, standar layanan yang mengikuti ketentuan peraturan perundangan kesehatan.”
Kedua, “Apa pandangan dan masukan serta tanggapan mengenai pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap organisasi profesi?
Secara teknis seharusnya ada kementerian pembina yang mengawasi organisasi profesi, seperti halnya IPK Indonesia sebagai organisasi profesi psikolog klinis dibawah pembinaan Kementerian Kesehatan.”
Ketiga, “Apa pandangan dan masukan serta tanggapan terhadap peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Pendidikan dan layanan psikologi?
Draft RUU PLP Pasal 1 terkait pendidikan profesi sebaiknya disesuaikan dengan UU No. 12 Tahun 2011 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yaitu pendidikan profesi diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan kementerian, LPNK (Lembaga Pemerintah Non Departemen) dan/ atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi. Dengan demikian TIDAK DIKUNCI hanya dengan organisasi profesi saja, tetapi diperluas.”
Keempat, “Apakah dalam RUU tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi memerlukan sanksi? Jika memerlukan, apa sanksi yang tepat?
Sanksi dalam undang-undang seharusnya hanya terkait dengan STR dan Izin Praktik Psikologi. Dalam draft ini kewajiban psikolog dituliskan dan turut diberikan sanksi, hal ini tumpang tindih dengan kode etik dan sanksinya.”(*)