“Kita juga perlu melakukan check up untuk mengetahui ‘penyakit’ sebuah karya sastra, dan obat apa yang dibutuhkan oleh tubuh karya sastra,” kata Ishakim.
Begitupun dengan buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”, katanya, penulis perlu mengetahui dimana letak kekurangannya dan kemudian menjadi pelajaran agar karya-karya selanjutnya menjadi lebih baik.
Ishakim memberikan catatan dan pendapat tentang isi buku tersebut, antara lain kutipan salah satu kalimat pada halaman 12-13; “Kehidupan mandiri yang kulalui selama bersekolah, membuat aku memiliki prinsip hidup yang kokoh. Tapi, di sisi lain, aku tak menginginkan orang lain mengalami hal yang sama seperti yang kurasakan. Aku tak ingin orang merasakan perihnya kehidupan, sebagaimana hari-hari yang kulewati.”
“Bung Maman (penulis buku, red) mengatakan, saya tidak ingin orang lain mengikuti saya. Menurut saya, kalimat ini tidak perlu ditulis. Kalau itu baik, biarkan saja orang lain juga mengalaminya,” kata Ishakim.
Dia juga menyoroti penggalan kalimat pada halaman 46-47; “Qadarullah, gadis yang ingin dipertemukan denganku, ternyata sedang tidak berada di butiknya, tepatnya dia sedang di RSUP dr Wahidin Sudirohusodo, tempatnya bekerja. Bukan berarti tak jodoh, hanya saja Allah sedang mangatur waktu dan tempat yang pas untuk mempertemukan kami berdua. Karena sejatinya, manusia hanya mampu merancang dan merencanakan, tapi Allah jua yang menentukan.”
“Di sini ada penggalan kalimat, bukan berarti tak jodoh. Hati-hati nanti masuk ke wilayah ke-aku-an, nanti bisa jadi angkuh,” kata Ishakim.
Esti Menolak Lamaran Maman
Dia pun mengaku tertarik dengan proses ta’aruf atau perkenalan dan pendekatan antara dirinya dengan Esti melalui pembuatan proposal atas tawaran Dokter Jihad, dan juga jasa Asni (sahabat Esti) yang berhasil meyakinkan Esti tentang kebaikan Maman Rumaday, sehingga Esti yang sebenarnya sudah memutuskan menolak “proposal lamaran” Maman, akhirnya mau menerima proposal lamaran Maman.
Bagian dari kisah tersebut terdapat pada halaman 68-70 sebagai berikut;
***
“Masih belum puas, dia kembali membaca profilku. Dia berusaha memastikan sendiri dari apa yang dia baca dan dari foto yang dia lihat.
Teringat kembali olehnya memori tentang pelatihan diksar ketika mendapatkan hukuman yang dianggap ke jam dariku sebagai instrukturnya. Saat itu, dia diminta menyelam ke dasar laut. Bila kepalanya nongol di permukaan laut, sebelum diinstruksikan, maka akan dilempari dengan batu dari darat.
“Hhuuuuh, itu sungguh kejam,” keluhnya, “hmmm … iya ini dia orangnya. Sepertinya saya tak mampu untuk menerima proposal ini.”
Esti langsung membuat keputusan begitu mengingat pengalaman yang tidak mengenakkan saat mengikuti diksar. Kenangan yang membuat dia jengkel dan masih memendam marah padaku.
Sebagai sahabat yang baik, Asni berusaha merasionalkan pikiran sahabatnya, dengan meminta Esti kembali memikirkan keputusan untuk menolak proposal taaruf tersebut. Beberapa pertimbangan untuk menerima ta’arufku dikemukakan oleh Asni secara lembut dan perlahan. Asni mencoba bijak ketika memberi penjelasan.
“Kamu ingat tidak, saat acara jalan sehat, kita sama- sama satu tim, dan beliau ini koordinator acaranya. Sepertinya beliau orang baik. Buktinya, ketika kita bekerja dengannya, dia melayani dan menservis betul anggotanya. Nah, dia baik banget kan?” papar Asni mencoba menyodorkan bukti tentang kebaikanku.
Belum sempat menjawab apa yang dikatakan Asni, kembali sahabatnya itu mencecar dengan argumentasi yang logis.
“Mungkin, sewaktu pelatihan diksar itu, kelihatannya saja dia kasar, dia kejam atau dia jahat. Tapi sebenarnya dia tidak seperti begitu. Kebetulan saja, pada momen itu dia sebagai instruktur, yang harus bersikap tegas dan keras. Dia sengaja menonjolkan karakter antagonis agar para peserta bersungguh-sungguh mengikuti pelatihan,” jelas Asni panjang lebar.
Suasana hening seketika. Asni sengaja memberi ruang untuk Esti memikirkan apa yang telah dia sampaikan tadi. Tiba-tiba Esti menampakkan raut wajah yang mulai bersinar. Senyum kakunya mulai tertarik, sedikit mengembang. Wajahnya yang awut-awutan mulai rapi kembali. “So, menurut kamu, aku terima saja? … atau aku harus bagaimana?” tanyanya malu-malu.
“Iya, bismillah … boleh kamu terima Esti, tapi alangkah baiknya kamu melibatkan Allah dalam setiap keputusan yang dibuat. Salat istikharah, misalnya. Minta ketetapan hati sama Allah, minta petunjuk-Nya. Insya Allah akan ada segala kebaikan untukmu dari Allah,” jawab Asni dengan penuh senyuman.
***
“Saya jadi penasaran dengan Asni, sahabat Esti, dan juga Dokter Jihad yang berjasa dalam proses ta’aruf antara Bung Maman dengan Esti hingga akhirnya mereka menikah,” ungkap Ishakim sambil tersenyum. (asnawin aminuddin / bersambung)