Oleh M. Dahlan Abubakar
JAMES Gordon Bennet, pendiri “The New York Herald”, sebuah surat kabar yang terbit pada tahun 1835 hingga 1924 di Kota New York, terkenal dengan satu ungkapan yang sangat melegenda dan ikonik hingga kini bagi komunitas wartawan se-jagat.
“Wartawan adalah separuh diplomat dan separuh detektif,” ujar pria blasteran Skotlandia-Amerika yang lahir di Skotlandia 1 September 1795 dan meninggal 1872 tersebut.
Separuh diplomat yang dimaksudkan Bennet tersebut menempatkan seorang wartawan harus pandai bergaul dengan semua orang dari berbagai lapisan dan latar belakang yang berbeda dengan sifat dan watak yang berbeda pula. Polisi pun sama, harus bergaul dengan seluruh lapisan masyarakat untuk mengumpulkan informasi, terutama bagi mereka yang memperoleh tugas sebagai reserse. Dia bergaul dengan semua orang dari strata sosial yang berbeda, selain untuk kepentingan tugas keamanan dan ketertiban masyarakat (Kantibmas), juga demi memperoleh informasi yang akurat mengenai suatu kasus yang sedang diselidiki.
Sebagai seorang diplomat seperti yang dikemukakan James Gordon Bennet tersebut menempatkan polisi dan wartawan memiliki kepentingan yang sama. Seorang intelijen “santri” Indonesia, As’ad Said Ali dalam autobiografinya (2021) menyebutkan, seorang pengumpul informasi harus menjalin komunikasi dan relasi yang harmonis dengan siapa pun yang dianggap berpotensi mendukung tugas. Begitu pun halnya dengan polisi dan wartawan, harus menjalin hubungan komunikasi dan relasi yang baik dengan semua pihak untuk memperoleh informasi yang diperlukan.
Kemudian, posisi wartawan sebagai separuh detektif, lebih mendekatkan praktik jurnalisme ke dalam tugas yang lebih dikenal dalam wilayah tugas kepolisian. Seorang detektif harus bekerja secara “undercover” (tersamar) agar identitasnya tidak dikenali. Untuk tugas ini, bagi wartawan praktik ini masuk ke dalam kategori peliputan investigasi (investigative reporting). Untuk tugas ini, wartawan “dilindungi” oleh pasal 9 Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi “Wartawan menempuh cara yang profesional, sopan, dan terhormat untuk memperoleh bahan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber berita, kecuali dalam peliputan yang bersifat investigatif”.
Peliputan investigatif menuntut wartawan harus melakukannya dengan secara tersamar, seperti juga seorang reserse yang menyaru dengan berbagai profesi (penjual bakso, penjual sate, tukang becak, dan sebagainya). Bagi wartawan peliputan secara “senyap” berlaku dalam pengumpulan data dan informasi, namun ketika melakukan konfirmasi suatu informasi wartawan tetap harus menjelaskan identitasnya. Polisi reserse tentu tidak akan melakukan seperti keharusan bagi seorang wartawan menjelaskan identitasnya, karena “dari sono”-nya memang sudah harus seperti itu. Namun yang ingin saya tekankan di sini adalah adanya kemiripan, kalau tidak dapat dikatakan, kesamaan praktik pengumpulan informasi antara seorang polisi (reserse) dengan seorang wartawan.
Kesamaan praktik pelaksanaan tugas kedua profesi (polisi dan wartawan) ini juga berkaitan komponen informasi yang diperlukan. Bahkan dapat dikatakan, format informasi kunci yang diperlukan oleh polisi dalam mengumpulkan informasi juga sama dengan watawan yakni, 5W (what, who, where, when, why) +H (How) — (apa, siapa, di mana, kapan, mengapa) + (bagaimana) yang sudah menjadi “kata-kata suci” bagi para wartawan.
Untuk memperoleh informasi yang lengkap dan akurat, Polisi dan Wartawan sama-sama mengembangkan enam kata tanya tersebut secara mendalam dan detail Tidak ada lagi informasi yang tersisa jika kita menggunakan komponen 5W+H tersebut dalam mengumpulkan informasi. Apalagi setiap pertanyaan yang diajukan harus terus “dikejar” hingga se-mendetail mungkin untuk memperoleh informasi yang lengkap.