“Nanti di Padang Mahsyar, amalan hidup manusia akan ditimbang di atas Neraca Peradilan. Dan saat itu pula, vonis akan ditetapkan, yang ditandai dengan penerimaan Buku Catatan di tangan kanan atau tangan kiri. Neraca Peradilan serta Buku Catatan itulah Lembaga Hukum dan Lembaga Pustaka yang hakiki, milik Zat Mahakuasa di Yaumil Akhir,” kata Mahrus Andis yang disambut aplaus peserta FGD.
Berbeda dengan peserta yang tidak sepakat penggunaan istilah FGD, Mahrus Andis justru mendukung program FGD yang dilaksanakan oleh Dinas Perpustakaan Kota Makassar. Salah satu alasannya, Undang-undang No 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, sudah jelas dan telah menjadi regulasi yang harus dipatuhi.
Kendati demikian, Mahrus Andis mengatakan, ada solusi yang penting diangkat dalam forum seperti ini adalah bagaimana menjabarkan Undang-undang tersebut dalam bentuk program kebijakan Pemerintah Kota.
Sebagai pembina literasi, kata Mahrus Andis, Dinas Perpustakaan Kota Makassar tidak sekadar menghimpun dan menyimpan karya cetak dan karya rekam. Tetapi, fungsi kelembagaannya harus dinamis dan tanggap mengantisipasi loncatan kemajuan di dunia literasi.
“Dinas Perpustakaan harus membuka diri secara inklusif untuk menampung karya-karya literasi dari masyarakatnya. Bahkan, tidak hanya menampung tapi juga menyeleksi dan memverifikasi jenis-jenis karya yang berkualitas serta layak menjadi bagian dari referensi perpustakaan,” kata Mahrus Andis.
Kritikus Sastra kelahiran Kabupaten Bulukumba ini menyarankan dinas perpustakaan membentuk tim seleksi karya cetak dan karya rekam untuk mengawal proses penyerahan karya sebelum disimpan dan menjadi bahan referensi di dalam lemari Perpustakaan.
Dengan hadirnya tim seleksi tersebut, menurut Mahrus Andis, penyerahan dan penyimpanan buku-buku pustaka yang tidak memenuhi syarat sebagai bahan referensi keilmuan, penelitian, maupun untuk kepentingan pendidikan, akan dapat diminimalkan. ***