Oleh M. Dahlan Abubakar
LATAR belakang pendidikan agama yang dikenyam Indar Bahadi dan pengalaman berdakwah akhirnya mewarnai acara bincang-bincang dengan penulis. Dia menyebut, kita senang kalau masjid penuh dengan jamaah. Azan merdu dan kencang. Sebab, kata dia, makmurnya hidup kita sebagai umat beragama Islam justru dari salat yang ditunaikannya. Salat itu pintunya rezeki, kebahagiaan, dan pintunya ketenteraman batin. Kalau salat, jaminan Allah kita dapat. Sakinah (kedamaian, ketenteraman) dan rezeki.
Setelah bekerja di kapal luar negeri, Indar bergabung dengan PT Pelni. Dia memutuskan kembali ke tanah air karena sudah berkeluarga. Tidak mau terlalu jauh dengan keluarga. Di Indonesia dapat gaji cukup masih bisa bertemu keluarga. Kalau di luar negeri, gaji ‘gede’ (besar), tetapi jarang bertemu keluarga. Jadi, ada nilai plus minus-nya. Indar akhirnya berpikir dan memilih, gaji cukup, bisa bertemu keluarga.
“Daripada gaji ‘gede’ tapi gak ketemu keluarga. Tetapi, kita kan tidak bisa sempurna. Kita sih maunya, gaji ’gede’ bisa bertemu keluarga, nggak bisa seperti itu,” kata Indar yang keluarganya tinggal di Semarang dengan anak tiga orang.
Ketiga anaknya, satu bekerja di Bank BNI di Jakarta, satu lagi sekolah di Malaysia, dan bungsu masih belajar di SMA. Yang bekerja di BNI masih bisa pulang ke Semarang menjenguk ibunya. Dia menjadi programer ‘information and technology’ (IT). Indar memilih Malaysia sebagai tempat anaknya melanjutkan pendidikan lanjutan karena di negara itu menggunakan bahasa Inggris. Jadi, langkah berikutnya bisa bekerja lintas negara.
“Kalau dilepas semua, sepi. Ini saja sepi, Pak. Kalau dia ke sekolah, rumah jadi sepi,” ujar Indar sambil tertawa.
“Untung sekarang sudah bisa ‘video call’,” penulis menimpali.
“Iya, bisa ‘video call’. Ya, alhamdulillah. Harta yang paling berharga adalah keluarga. Itu termasuk harta. Harta yang paling mulia itu keluarga. Di atasnya emas, di atasnya mobil. Kita kehilangan mobil masih bisa diganti, tetapi kehilangan keluarga yang tetap tak tergantikan,” ucapnya.
Menurut Indar, kita, pada Allah Yang Maha Kuasa kenikmatan dan kebahagiaan bersama keluarga. Yang paling utama, mereka bisa beribadah, taat. Kita ini hanya ‘mempersiapkan’ mati saja.
“Saya sudah tidak tertarik pada memempersiapkan dunia, kini lebih mempersiapkan pada kematian. Kalau kita sudah tua hanya mempersiapkan kehidupan akhirat. Yang kita harapkan, anak-anak menjadi penerus,” sebutnya.
Makanya, imbuhnya, perlu keberkahan. Berkah itu sangat perlu. Berkah itu sesuatu yang bisa dinikmati. Harus dipersiapkan benar-benar. Kalau kita jadi pemimpin, jangan mengambil manfaat dari yang dipimpin. Sebab, Allah SWT akan menolong seorang pemimpin yang tidak mengambil manfaat. Kalau pemimpin sudah mengambil manfaat, “di sana” dia tidak akan bisa mengelak. Bencana itu mengintai setiap saat. Seorang individu diintai dari atas-bawah, kanan-kiri. Kalau kita tidak menjaga diri sendiri, dengan taat pada Allah SWT, seseorang akan celaka. Tidak cukup pemimpin itu karismatik, tetapi juga harus cerdas. Yang cerdas dalam memaknai hidup ini. Dia harus bersih dan bergantung pada Allah SWT.
“Saya itu bebas, tetapi terkontrol. Saya tidak paksakan ideologi, tetapi lebih kepada agama dulu. Saya ajak berpikir tentang ke akhirat. Mereka sudah paham dan bisa memahami langkahnya. Pilihan dunia diserahkan kepada mereka, tetapi harus berimbang dengan akhirat. Kita kontrol saja, Untuk urusan dunia, kita ‘sharing’ (berbagi),” Indar menjelaskan.
Orang tua itu selalu mendoakan anak-anaknya agar menjadi baik dan beberkah. Kekayaan itu tidak dapat menjadi ukuran kebahagiaan. Kebahagiaan itu ada di hati. Berbicara soal cukup, jika keluarganya aman dan sukses. Kalau kebahagiaan itu hanya diukur dari kekayaan, maka orang kaya saja yang masuk surga. Kalau kebahagiaan itu letaknya pada jabatan, maka pejabat saja yang masuk surga. Bagaimana dia bisa mensyukuri tentu akan mendapatkan segalanya.