“Tetapi tidak bisakah aku menjadi arus seperti sekarang ini?”
“Kau tidak dapat terus-menerus sama,”, bisik suara itu.
“Bagian pentingmu dibawa pergi dan membentuk sebuah arus kembali. Kau sendiri tidak tahu siapa dirimu sekarang ini, karena kau tidak tahu bagian mana darimu yang penting.”
Ketika arus mendengar ini, muncullah gaung-gaung yang bergejolak dalam pikirannya. Dengan tenang, ia mengingat sebuah keadaan di mana dirinya–atau sebagian darinya, apa itu?–telah digenggam dalam rengkuhan tangan angin. Ia juga ingat–atau ingatkah ia– bahwa ini adalah hal yang benar untuk dilakukan.
Arus mengepulkan asapnya ke dalam rengkuhan tangan angin, yang dengan lembut dan sayang membawanya ke atas dan menjauh, membiarkannya jatuh dengan lembut segera setelah mereka mencapai atap sebuah gunung, bermil- mil jauhnya. Dan karena ia tidak ragu, arus mampu mengingat dan merekam dengan lebih kuat dalam pikirannya tentang pengalaman itu secara mendetil.
Ia berkata, “Ya, sekarang aku telah belajar tentang siapa diriku yang sejati.
Arus sedang merenung, ketika pasir berbisik, “Kami tahu, karena kami melihatnya terjadi dari hari ke hari; dan karena kami, pasir, terhampar dari sisi sungai sampai ke pegunungan.”
Dan itulah mengapa dikatakan, bahwa ke mana Arus Kehidupan melanjutkan perjalanannya telah tertulis di pasir. Allah A’lam. ***
Makassar, 24 Agustus 2022