Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Salah satu rukun Iman adalah percaya kepada adanya takdir. Takdir di sini, bukan berarti nama orang, atau tetangga saya yang bernama Takdir. Tetapi sesuatu yang memiliki berkaitan dengan ketentuan Allah SWT, yang tidak dapat dihindari.
Manusia dikuasai oleh takdir, dan manusia tidak mampu mengubahnya dan tanpa pilihan lain, karena takdir, sekali lagi, merupakan ketetapan Allah SWT. Manusia harus menerimanya sekalipun takdir tersebut baik, ataupun buruk.
Di kalangan sebagian besar masyarakat, kadang merasa tidak mampu melakukan sesuatu untuk menjadi lebih baik karena keyakinan bahwa apa yang dialaminya sudah merupakan takdirnya.
Hanya saja, pengertian takdir tidak seharusnya dipahami secara negatif, yang justru melahirkan sikap fatalisme. Fatalisme mengandung makna semangat menyerah, tanpa usaha dan tanpa aktivitas produktif serta kreatif. Mereka yang tidak berupaya menjadi baik untuk menghasilkan sesuatu yang positif dalam hidup ini disebut kaum fatalis.
Islam adalah agama rasional yang mengajarkan umatnya untuk senantiasa bekerja maksimal dalam upaya mencapai sesuatu yang diharapkan.
Cak Nur menegaskan, “Jika agama lain ada yang mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh seseorang karena kesertaannya dalam suatu upaya suci atau melalui penyajian makanan ritual, maka Islam mengajarkan, seseorang yang ingin mendapatkan sesuatu yang baik, seharusnya dia berbuat baik dan tidak menduakan (syirik) kepada Tuhannya QS. 18: 110), juga QS 53: 39).”
Berdasarkan ayat di atas ditegaskan bahwa, seseorang yang mempercayai adanya takdir, tidak berarti dia bersikap fatalis, sebab sikap fatalis kepada nasib berarti tidak adanya usaha atau upaya dalam mengubah nasib menjadi lebih baik.
Oleh karena itu, percaya kepada yang dikehendaki oleh Islam yang mengajarkan amal-usaha tentu mustahil memiliki makna yang menentang usaha seseorang. Allah A'lam. ***
Makassar, 22 September 2022