Cucu dari Raja Bone ke-32, yang juga pahlawan nasional (Andi Mappanyukki), juga cucu Raja Gowa ke-34 I Makkulau Daeng Serang dan Keponakan Datu Luwu ke-38, Bau Tenripadang Opu Datu, kelahiran 7 Agustus 1964 ini menambahkan, sejak kecil dia telah diajari pengetahuan agama Islam dengan baik dari orang tua, dan kakeknya .
Satu pesan penting yang dilontarkan Andi Muhammad adalah, Sulawesi Selatan harus dijaga dengan baik, dari penghianat penghianat yang sengaja ingin meronrong ketidakkondusipan. “Mari kita jaga bersama. Mari kita bangkit bersama, dan membawa daerah ini jauh lebih baik,” pintanya
Pembicara ke tiga, H.Azhar Arsyad,SH. Ketua Fraksi PKB DPRTD Sulsel ini menjelaskan santri memiliki peran positif dan penting, bukan saja para masa lalu, melainkan di era berkemajuan saat ini. Pentingnya santri, sehingga dirinya menggagas pembentukan Peraturan Daerah (Perda) Santri. Dalam waktu dekat akan dibahas di DPRD Sulsel.
Ketua DPW PKB Sulsel ini juga mengakui, peringatan hari Santri Nasional tidak terlepas dari teks resolusi jihad yang dicetuskan pada 22 Oktober 1945.
“Aksi Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 berawal dari seruan KH Hasyim Asy’ari kepada para santri dan ulama pondok pesantren dari berbagai penjuru Indonesia. Instruksi tersebut menyebut untuk membulatkan tekad dalam melakukan jihad membela tanah air. Dan tentunya, lahirnya resolusi jihad ini, tak lepas dari rangkaian peristiwa sejarah yang terjadi sebelumnya,” tegasnya.
Sementara pembicara terakhir, Dr.H.Mustari Bosra,M.Ag. Tokoh Muhammadiyah ini mengurai peran “Anrong Guru dan Tuan Guru dalam Dunia Santri. Dalam paparannya, akademiisi ini terlihat membedakan pesantren di Jawa dan Sulawesi Selatan. Baginya, dulu, pesantren di Jawa dipengaruhi tradisi Hindu Budha.
Pesantren saat itu, merupakan hasil upaya asimilasi tradisi pendidikan Islam dengan Hindu-Buddha yang dilakukan Wali Songo. Pendapat ini didasarkan kepada banyak kemiripan dalam konsep pendidikan, dan latihan pengendalian diri. Makanya, saat itu, pesantren di Jawa dikeroyok oleh kerajaan yang muncul dari bawah.
Bedanya dengan di Sulawesi Selatan. Pesantren dengan perkembangan Islam, memang lahir dari kalangan atas. Para raja yang duluan memeluk Islam, kemudian menyebarkan Islam kepada kalangan bawah. Sebut saja, sistem pendidikan yang diajarkan Datuk Ri Bandang—atau Abdul Makmur di Sulawesi Selatan dilakukan di istana. Atau para bangsawan. Kemudian berkelanjutan sampai awal abad ke XX.
Malah, pada abad tersebut, pesantren pesantren di Sulawesi Selatan berpusat di Mekkah. Di mana, para orang pulang menimba ilmu di Mekkah, kemudian membuka pesantren. Pertama di pulau Salemo, sekitaran tahun 1910-an. Kemudian ke Campalagian, sekitaran tahun 1930-an.
Dan, seperti tiga dua pembicara sebelumnya, Mustari Bosra juga meyakini, masa depan santri lebih cemerlang. Karena itu, ia meminta agar para santri terus berbenah diri. Mengisi ruang ruang pendidikan di semua tingkatan. Apalagi, masa depan bangsa sangat ditentukan kesiapan generasi saat ini, termasuik didalamnya santri. (din pattisahusiwa).