Di sana, kami bertemu pria tua yang merupakan penjaga Makam Karaeng Galesong termasuk makam sekitarnya. Dia berbaju biru tua dan bercelana hitam dan ketika kami tiba sedang membersihkan dedaunan di jalanan pinggir makam menggunakan sapu lidi. Pria tua yang berumur sekitar 60 tahunan itu bernama Abdul Kahar. Biasa juga dipanggil Pak Rasyid oleh teman-temannya. Dia berasal dari Jombang dan memiliki darah keturunan orang Bugis. Tapi dia tidak pernah pergi ke Makassar. Sekarang Pak Rasyid tinggal di Ngantang bersama istrinya.
Pak Rasyid mulai menjadi penjaga Makam Karaeng Galesong pada tahun 2017. Jadi sudah hampir 6 tahun dia menjaga makam sosok yang kami sambangi. Dari dulu dia memang tertarik dengan sejarah Karaeng Galesong. Sehingga, dia mengajukan dirinya sendiri untuk menjaga makam beliau. Dia tidak menjaga sendiri, istrinya juga ikut menjaga Makam Karaeng Galesong dan sekitarnya. Istri Pak Rasyid, Teti Surwaningsih. Umurnya hampir sama dengan suaminya, sekitar 60 tahunan. Dia juga gemuk sama seperti suaminya.
Pak Rasyid mulai menuntun kami ke Makam Karaeng Galesong. Gerbang makam terbuat dari pagar besi kuning juga. Di samping kanan-kirinya terdapat gapura. Bukan gapura yang besar, hanya gapura kecil yang berupa tumpukan balok batu.
Kami pun masuk ke dalam tempat Makam Karaeng Galesong. Tempatnya berbentuk persegi panjang. Dengan panjang sekitar 20m dan lebar sekitar 5m. Seluruh lantainya memakai paving. Dan dinding semua sisi dalam balok batu penuh dengan lumut. Tapi jika dilihat dari luar, tak terlalu berlumut.
Sesaat setelah memasuki gerbang, langsung terlihat beberapa pohon muring tersebar di pinggiran dan tengah. Dihiasi dengan pohon kamboja, andong, kemuning, dan gewandari. Ada juga tong sampah berwarna cokelat yang ada di samping dinding belakang.
Awal masuk, sudah terlihat satu makam tepat di samping dinding kiri. Di sebelah kanan (dengan sedikit jeda) ada empat makam berjejer di satu tanah. Makam-makam tersebut ditandai dengan batu nisan hitam kecil dan dikelilingi balok batu berlumut sebagai pembatas antara paving dan tanah.
Kelima makam tersebut tak diketahui siapa Namanya. Namun mereka adalah pusaka Karaeng Galesong. Di sebelah kanannya, barulah terdapat Makam Karaeng Galesong. Dua batu nisan Karaeng sedikit besar dari batu nisan di samping-sampingnya. Yang membedakan adalah terdapat dua lapisan balok batu yang mengelilingi makam.
Ada makna di balik dua lapisan balok batu dan dua batu nisan. Yaitu bermakna kejujuran, kecerdasan, keberanian, dan kekayaan. Makna itu yang diharapkan bisa menjadi pondasi hidup untuk orang-orang yang telah mengunjungi Makam Karaeng Galesong.
Kedua batu nisan yang tak terlalu besar juga bisa bermakna mati muda. Serta kondisi, bentuk, dan bahan makam yang sederhana menandakan bahwa Karaeng Galesong bukanlah orang yang sombong. Bahkan ada makam lain yang terlihat lebih bagus dari makam beliau.
Di samping kiri belakang makam beliau terdapat sebuah payung tudung berwarna kuning. Di belakang makam beliau, ada batu prasasti yang sebagian dilapisi batu keramik putih. Kemudian terdapat tulisan-tulisan berwarna kuning di batu tersebut.
Mulai dari paling atas, terdapat surah Al-Baqarah ayat 154, Arti dari surah itu adalah “Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”
Kemudian tepat di bawah surah tersebut, ada sebuah teks. “Di sini makam pejuang agung yang pantang menyerah menentang VOC dan kezaliman di abad ke-17, putra Sultan Hasanuddin Raja Goa ke-16 menantu Raden Trunojoyo, murid Panembahan Giri, Panglima Perang Lasykar Makasssar di Jawa Timur”.
Di bawahnya lagi terdapat sebuah kutipan tertulis dengan huruf besar, “KARAENG GALESONG TUMENANGA RI TAPPA NA”. Kutipan tersebut merupakan nama lain dari Karaeng Galesong.
Terakhir di bawah sendiri ada tempat dan tahun makam beliau dibuat. Bertempat di Ngantang pada tahun 1420 H atau 2000 M. Dilengkapi tanda tangan yang berupa tulisan Arab “Jama’ah Ansorullah”. (Bersambung)