Daeng Te’ne, berarti manis (denotatif), kehidupan yang bahagia (konotatif), dan orang yang hidupnya bahagia (konseptual).
Daeng Bundu, perang (denotatif), memerangi kejahatan (konotatif), dan orang yang selalu memerangi kejahatan (konseptual).
Daeng Beta, menang (denotatif), membawa kemenangan (konotatif), dan orang yang membawa kemenangan (konseptual).
Ada juga penamaan yang sesuai dengan waktu kelahiran. Maka jangan heran kalau kita mengenal ada nama Daeng Sanneng (lahir dari Senin), Daeng Salasa (Selasa), Daeng Raba (Rabu), Daeng Juma (Jumat), dan Daeng Sattu (Sabtu). Kalau ada yang lahir waktu pagi, diberilah nama Daeng Subu dan yang lahir pada siang hari diberi nama Daeng Singara dan Daeng Cora.
Jika kita ke berbagai daerah di Indonesia dan menemukan orang yang memiliki nama ‘Pakdaengang’, pastilah itu memiliki hubungan historis dan genetika dengan etnik Makassar. Samahalnya dengan di Bima sebagaimana saya ungkapkan dalam sambutan penyunting buku ini, terdapat juga sapaan ‘dae’ yang jelas merupakan turunan dari kata ‘daeng’ yang dikenal di dalam masyarakat etnik Makassar. Hanya saja, bahasa Bima (Nggahi Mbojo) selalu melesapkan konsonan yang ada di akhir suatu kata, sehingga kata tersebut menjadi kata hidup atau menjadikan bahasa Bima yang bahasa vokalis.
Dalam realitasnya, sapaan ‘dae’ yang dikenal di kalangan masyarakat Bima tersebut berada pada tataran masyarakat yang bukan kebanyakan, melainkan boleh disebut kalangan menengah. Misalnya nama itu dikenal pada sosok ulama, guru, dan sebagainya.
Secara historis adanya penamaan ‘dae’ di dalam masyarakat Bima bermula sebelum abad XVII putra Sultan Bima menikah dengan putri Karaeng Lengkese (Takalar), sementara penguasa Kerajaan Sumbawa menikah dengan saudara perempuan Karaeng Tallo. Pada abad XVII terjadi sedikitnya enam pernikahan antara putri Kerajaan Gowa dengan putra-putra Sultan Bima.
Pernikahan ini kemudian sempat membuat Sultan Bima “galau” karena ketika para putri Raja Gowa itu pulang mengunjungi keluarganya ke Makassar, para suami mereka berniat mendampinginya. Padahal, para suami itu adalah pejabat-pejabat teras Kesultanan Bima, sehingga ‘kantor’ kosong karena mereka ke Makassar.
Ruang ini jelas cukup sempit untuk memaparkan isi buku yang wajib dimiliki oleh masyarakat etnik Makassar, termasuk mereka yang tertarik dengan masalah budaya dan bahasa. Selamat membaca. (M.Dahlan Abubakar)