Sedangkan Sudirman Sabang dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Wajo mengusulkan perubahan judul menjadi Ranperda tentang Pelestarian Bahasa, Aksara, dan Sastra Daerah.
Masukan juga datang dari Prof Aminuddin Salle, yang pemilik dan pengelola Balla’ Barakkaka di Galesong, Takalar. Guru Besar Hukum Unhas itu minta agar bunyi pasal-,pasal Ranperda ini tegas. Misalnya, soal pembelajaran, harus dipertegas sebagai kewajiban, agar Perda ini dilaksanakan dan demi untuk kebaikan.
Usulan perubahan judul juga datang dari Prof Kembong Daeng. Guru Besar Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) UNM yang menulis buku Pappilajarang Basa Mangkasarak, Bahasaku, Sastraku, Cermin Budayaku untuk murid SD/MI ini mengatakan, literasi dan aksara itu terlalu kecil, perlu diperluas dengan bahasa dan sastra.
Prof Aminuddin Salle dan Prof Kembong Daeng, hadir mewakili Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan.
Dr. Muhammad Saleh, S.Pd., M.Pd., Wakil Dekan II Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) UNM, menyampaikan hal senada. Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesi itu mengatakan, perlu secara eksplisit menyebut bahasa dan sastra, bukan hanya aksara.
Rusdin Tompo, legal drafter yang merupakan salah seorang penyusun Naskah Akademik dan Ranperda tentang Literasi Aksara Lontaraq menyampaikan terima kasih atas masukan yang disampaikan para para akademisi dan pemangku kepentingan terkait.
Menurut Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan ini, lewat forum tersebut memang diharapkan banyak masukan. Meski dari segi prosedur dan hukum sudah dikonsultasikan dengan Kanwil Hukum dan HAM Sulawesi Selatan untuk harmonisasi dan sinkronisasi.
“Namun dari sisi konsepsi dan konten butuh penyempurnaan. Ranperda ini diusulkan melalui hak inisiatif anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan,”pungkas Rusdin Tompo. (*rk)