Penyair D.Zawawi Imron ‘Turki’ yang Keseleo Jadi Penyair

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

“Walaupun bagus perahu,
tapi bodoh pendayungnya..
Tidak akan sampai ke tujuan..

Ketika Bung Karno memeras Pancasila itu menjadi gotong royong, di Bugis ada “sipakatau”. Oleh sebab itu, dia sedang menulis puisi berjudul “Mata Badik, Mata Puisi” yang belum terbit.

Ada juga puisinya yang dibacakan di depan Presiden Joko Widodo yang membuat mantan Wali Kota Solo itu tertawa dan bertepuk tangan. Bisa dilihat di Youtube berjudul “Pidato Budayawan Zawawi Imron yang menggetarkan Presiden Jokowi”. Hanya dua baris, tetapi orang Bugis senang mendengarnya karena diambil dari filofois Bugis.

“Telur. Dubur ayam yang mengeluarkan telur. Lebih mulia dari mulut intelektual yang hanya menjanjikan telur,” yang membuat peserta Temu Penulis Makassar II ini terkagum dan bertepuk tangan meriah.

Dalam orasinya, Zawawi menceritakan kedekatan dirinya dengan etnis Bugis. Ia bahkan mengutip sejumlah pepatah Bugis yang sarat filosofi yang sangat tinggi. Falsafah-falsafah Bugis banyak menjadi sumber inspirasi puisi-puisinya.

Temu penulis Makassar ini dihadiri lebih 50 penulis. Mereka memberikan testimoni tentang proses kreatif dalam menulis. Seorang penulis lainnya, Prof Hamdar Arraiyah membacakan puisi-puisi karyanya.

Mereka yang hadir antara lain Qasim Mathar, Rusdin Tompo, Waspada Santing, Kadis Perpustakaan Kota Makassar Tenti A. Palallo, Amir Muhidin, Moh. Yahya Mustafa, M. Dahlan Abubakar, Yudisthira Sukatanya, Wanua Tangke, Adi Suryadi Culla, Nur Alim Jalil, Amir Jaya, Abd. Karim, dan banyak lagi lainnya.

Ayah tiga anak (seorang meninggal) yang menikahi istrinya ketika masih berusia 13 tahun dan Zawawi berusia 21 tahun ini, mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tahun 1982. Bakat kepenyairannya ditemukan oleh Subagio Sastrowardojo.

Baca juga :  UKIP Kukuhkan 1 Guru Besar dan 481 Wisudawan, Prof Agus : Segera Dibuka Prodi S3 Hukum dan Hadirkan Fakultas Kedokteran

Sejak tamat Sekolah Rakyat, dia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep. Kumpulan sajaknya “Bulan Tertusuk Ilallang” mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak “Bulan Tertusuk Ilallang”. Kumpulan sajaknya “Nenek Moyangku Airmata” terpilih sebagai buku puisi terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985.

Pada 1990 kumpulan sajak “Celurit Emas” dan “Nenek Moyangku Airmata” terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve dalam rangka HUT ke-50 RI pada 1995. Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.

Zawawi Imron merupakan Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta). D. Zawawi Imron banyak berceramah Agama sekaligus membacakan sajaknya, di Yogyakarta, ITS. Surakarta, Unhas, Makasar, IKIP Malang dan Balai Sidang Senayan Jakarta. Juara pertama menulis puisi di AN-teve.

Pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunei Darussalam (Maret 2002). Selain itu Dia juga dikenal sebagai Budayawan Madura.

Pada Juli 2012 Zawawi meluncurkan buku puisinya yang berjudul “Mata Badik Mata Puisi” di Makassar, kumpulan puisinya ini berisi tentang Bugis dan Makassar.

Hingga kini, Zawawi Imron masih setia tinggal di Batang-batang, Madura, tanah kelahiran sekaligus sumber inspirasi bagi puisi-puisinya.

Penghargaan

Pada 2012 dia menerima penghargaan “The S.E.A Write Award” di Bangkok Thailand, The S.E.A. Write Award adalah penghargaan yang diberikan keluarga kerajaan Thailand untuk para penulis di kawasan ASEAN.

Pada 2018 menerima penghargaan sebagai tokoh yang berjasa di bidang kebudayaan dalam acara Kongres Kebudayaan Indonesia, Kemendikbud. Penghargaan ini diserahkan oleh Presiden Joko Widodo. Tokoh lain yang menerima penghargaan adalah Ismiyoto (tenaga ahli konservasi Candi Borobudur 1973-1983), Hubertus Sadirin, dan sastrawan Putu Wijaya.

Baca juga :  Sekda Pimpin Upacara Peringatan Sumpah Pemuda di Pinrang

Dia pernah menjabat Ketua Bidang Sastra Lembaga Kesenian Sumenep. D. Zawawi Imron adalah sosok seniman langka. Ayahnya meninggal sebelum ia berumur delapan tahun. Zawawi Imron lahir di lingkungan masyarakat yang tidak biasa menggunakan bahasa Indonesia. Istrinya sempat mengenyam pendidikan sampai Kelas III SD dan tidak bisa berbicara dalam bahasa Indonesia (hanya mengerti secara pasif). Namun, istrinya pandai setiap tulisan suaminya hingga tidak pernah ada yang hilang.

Sebagai orang Madura yang masih terikat adat, Zawawi mengalami masa kawin muda. Istrinya baru berumur 13 tahun saat dikawininya, sedangkan Zawawi sendiri saat itu berumur 21 tahun. Dia memiliki tiga orang anak, tetapi satu di antaranya meninggal dunia. Anak sulungnya, Zaki, semasa remaja menyukai sajak juga. Pertama kali Zawawi Imron menulis sajak ketika berusia 17 tahun dalam bahasa Madura.

Zawawi beralih menulis dalam bahasa Indonesia karena teman-temannya mengomentari bahwa ia tampak kolot saat membacakan sajaknya dalam bahasa Madura. Dia merasa sangat berterima kasih kepada Pak Sutama, camat di tempat dia pertama kali memberinya kesempatan untuk mengetik puisi-puisinya. Pak Sutama itu pula yang berjasa mengirimkan puisinya ke Mingguan Bhirawa (Surabaya) asuhan Suripan Sadi Hutomo dan pertama kali disiarkan tahun 1974.

Pada tahun 1979 ia memenangi sayembara cipta puisi tingkat nasional yang diadakan oleh Pengurus Pusat Perkumpulan Sahabat Pena Indonesia. Pada tahun 1981 ia memenangi lomba mengarang buku bacaan SD yang diadakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tulisan-tulisan Zawawi banyak dimuat di koran-koran dan majalah pusat dan daerah seperti Suara Karya, Bhirawa, Berita Buana, Sinar Harapan, Horison, Zaman, Liberty, dan Panji Masyarakat.

Dengan demikian, Zawawi Imronlah yang pertama-tama berhasil mematahkan pandangan selama ini bahwa seorang penyair Indonesia yang berkualitas mesti lahir di kota-kota besar. Subagio mengangkat dua kumpulan puisi Zawawi, yaitu Bulan Tertusuk Ilalang dan Nenek Moyangku Air Mata, sebagai topik makalahnya pada Pertemuan Sastrawan Nusantara V di Makasar tahun 1986.

Baca juga :  Prof. Jasmal dan Fahri: Kolaborasi Kuat di Balik Lompatan Pembinaan Orang Dewasa Kwarda Sulsel

Dalam kesempatan itu Subagio memberikan pujian dengan menyatakan bahwa Zawawi Imron telah mencapai pengucapan pribadi yang khas dengan mengungkapkan dunia angan-angannya yang berwatak surealisme yang mengatasi dan menolak batas-batas kenyataan. (MDA)

1
2
TAMPILKAN SEMUA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Pangdam XIV/Hasanuddin Terima Penghargaan dari Gubernur Sulsel pada HUT ke-80 RI

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Pangdam XIV/Hasanuddin Mayjen TNI Windiyatno menerima penghargaan istimewa dari Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman,...

Semangat Nasionalisme Warnai Syukuran HUT ke-80 Kemerdekaan RI di Kodam XIV/Hasanuddin

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Kodam XIV/Hasanuddin menggelar syukuran puncak peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia di...

Ditutup oleh Camat, BKPRMI Sinjai Utara Sukses Adakan Aneka Lomba

PEDOMANRAKYAT, SINJAI - Dalam rangka memeriahkan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, Dewan Pengurus Kecamatan (DPK) Badan Komunikasi...

Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel Akan Gelar Sekolah Tabligh #2 Zona II Pangkep, Barru, Jeneponto, dan Bantaeng, 1-14 September 2025

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR -- Sekolah Tabligh #2 siap digelar setelah pengurus Majelis Tabligh Muhammadiyah Sulsel melakukan kunjungan dan pertemuan dengan...