PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Berbicara mengenai toilet publik (umum) bagi orang awam mungkin tidak ada yang menarik dan dianggap biasa-biasa saja. Tetapi bagi Prof. Dr. Ir. Triyatni Martosenjoyo, M.Si, toilet publik adalah karya cipta arsitektur yang merupakan produk budaya. Oleh sebab itu, di balik wujud visual toilet publik ada asumsi-asumsi dan nilai-nilai masyarakatnya yang tidak kasat mata dan menjadi dasar, sehingga tercipta toilet publik yang hadir secara kasat mata.
“Pada toilet publik asumsi-asumsi titik ekstrem melebur. Antara aroma wangi si kaya yang terpelajar dengan bau busuk dari si miskin yang jahir. Antara kesadaran global dengan kesadaran lokal. Antara ruang makro dengan ruang mikro. Antara objektivitas universal dengan subjektivitas kontekstual. Antara kesetaraan derajat manusia dengan perbedaannya. Antara apa yang dipersepsikan bersih dengan kotor. Antara yang suci dengan yang najis. Di toilet publik rasa dan rasio itu menjadi satu,” ujar perempuan kelahiran Makassar, 29 Juli 1957 ini dalam orasi ilmiah penerimaan jabatan Profesor dalam Bidang Ilmu Perancangan Arsitektur Fakultas Teknik Unhas, di Kampus Unhas Tamalanrea, Kamis (22/12/2022).
Sebelum menyampaikan orasi, Dekan Fakultas Teknik Unhas Prof. Dr.Eng. Irsan Ramli, ST, MT membacakan riwayat hidup singkat profesor baru Unhas dengan nomor urut 454 tersebut. Sebelum Triyatni menyampaikan orasinya, orasi serupa disampaikan Prof. Dr. Abdul Razak Munir, SE, M.Si, M.Mktg, CMP dengan orasi berjudul “Eksplorasi dan Pengembangan Konsep-Konsep baru untuk meningkatkan Kinerja Pemasaran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia, Pendekatan New Concept Building”.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prof. Dr. Abdul Rahman Kadir, M.Si, CIPM juga membacakan riwayat hidup singkat Profesor Unhas dengan nomor urut 455 tersebut.
Dalam orasinya berjudul “Belajar menjadi Arsitek Melalui Toilet Publik,” Triyatni, doktor lulusan Unhas 2015 tersebut mengutip Koentjaraningrat (2000) mengatakan, agar tidak terjebak dalam kekeliruan simpulan, arsitek wajib mengetahui dengan baik tentang makna-makna toilet tersebut. Arsitek juga harus mahir membaca-asumsi-asumsi dan nilai-nilai dari masyarakat, tempat toilet itu mewujud. Nilai yang menjadi konsepsi, eksplisit atau pun implisit, khas bagi setiap individu dari suatu kelompok yang menjadi pedoman arah dan orientasi pada keilmuan mereka dalam berpikir dan bertindak.
“Kesalahan membaca makna nilai mereka akan menjadi kesalahan dalam menyimpulkan ide dan gagasan yang dihasilkan,” ujar Triyatni dalam orasi yang berlangsung dalam Rapat Senat Akademik Universitas Hasanuddin yang dipimpin Ketuanya, Prof. Dr. drg. Baharuddin Talib, M.Kes, dan dihadiri para ketua dan sekretaris Majelis Wali Amanat (MWA) Unhas, Dewan Profesor Unhas dan Rektor Unhas Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc, Rektor Unhas (1989-1993 dan 1993-1997) Prof. Dr. Basri Hasanuddin, MA, Rektor Unhas (2006-2010 dan 2010-2014) Prof. Dr. dr. Idrus A.Paturusi, dan sejumlah undangan.
Triyatni mengatakan, riset-riset tentang toilet selama ini selalu dikaitkan dengan kualitas pendidikan dan tingkat pendapatan masyarakatnya. Toilet yang buruk signifikan dengan kualitas pendidikan dan penghasilan yang rendah menurut penelitian beberapa peneliti.
Berkaitan dengan toilet sebagai indikator tidak miskin, Triyatni mengatakan, toilet yang kita kenal saat ini bukanlah produk budaya lama Indonesia. Pada awal sejarah arsitektur Indonesia hingga 1990-an, sistem sanitasi belum mengenal wadah khusus untuk membuang limbah. Denah-denah rumah di masa itu menunjukkan tidak adanya toilet di dalam atau di sekitar rumah mereka. Untuk membuang limbah tubuh, penghuni rumah pergi ke tempat yang berjarak dengan tempat tinggal mereka. Misalnya, ke semak-semak, hutan, pantai, atau sungai. Tempat-tempat itulah yang menjadi toilet mereka.
“Apa yang dikenal dengan nama toilet sebagai wadah membuang limbah tubuh saat ini merupakan artefak budaya baru yang menjadi bagian sejarah panjang tentang keterlibatan perusahaan internasional Amerika menguasai panggung peradaban dunia,” Triyatni mengutip Scalander (2003).