Oleh M. Dahlan Abubakar
Indonesia 12 Desember 2022 kehilangan seorang pria multitalenta. Pada dirinya melekat berbagai predikat. Dia seorang dosen, novelis, penulis, penyanyi, aktor, dan mantan wartawan Indonesia keturunan Minahasa, Sulawesi Utara. Namanya lebih dikenal Remy Sylado. Tidak jelas muasal nama ini hingga menenggelamkan nama aslinya –- yang aduhai panjangnya bagaikan mengular — Yusbal Anak Perang Imanuel Panda Abdiel Tambayong.
Berita duka meninggalnya Remy Sylado diumumkan Fadli Zon melalui akun Twitter pribadinya @fadlizon. Dalam cuitannya, ia mengunggah momen kebersamaannya bersama Remy yang terbaring dalam kondisi lemas di ranjang.
“Selamat jakan Bang Remy Sylado,” tulis anggota DPR RI asal Fraksi Gerindra ini pukul 10.51 WIB, 12 Desember 2022.
“Baru beberapa hari lalu ngobrol tentang Elvis Presley dan manajernya Tom Parker. RIP,” tambahnya mengenai Remy sebagai seniman serba bisa.
Salah satu puisi Remy Sylado yang menjadi topik analisis para mahasiswa saya (Program Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Unhas) pada semester akhir tahun 2021/2022 adalah berjudul ‘Kesetiakawanan Asia Afrika”, berikut ini.
Kesetiakawanan Asia-Afrika
Mei Hwa perawan 16 tahun.
Farouk perjaka 16 tahun.
Mei Hwa masuk kamar jam 24.00.
Farouk masuk kamar jam 24.00.
Mei Hwa buka blouse.
Farouk buka hemd.
Mei Hwa buka rok.
Farouk buka celana.
Mei Hwa buka BH.
Farouk buka singlet.
Mei Hwa telanjang bulat.
Farouk telanjang bulat.
Mei Hwa pakai daster.
Farouk pakai kamerjas.
Mei Hwa naik ranjang.
Farouk naik ranjang.
Lantas mereka tidurlah.
Mei Hwa di Taipeh.
Farouk di Kairo.
Para mahasiswa saya dalam catatannya rata-rata “menghujat” puisi ini sebagai terlalu bombastik mengumbar ‘aurat’. Namun mereka kemudian terkesima dan terkagum-kagum karena Remy Sylado berhasil membawa alam pikir mereka terbenam dalam emosi sesaat yang ternyata terkibuli dan terkecoh.
Puisi “Kesetiakawanan Asia Afrika” ini dilatari peristiwa historis Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955. Remy Sylado menangkap momen itu dari sisi yang lain, puisi. Mengungkapkan praktik “kesetiakawanan” antara dua anak muda, Mei Hwa yang di ujung puisi baru diketahui mewakili benua Asia dan Farouk representasi benua Afrika, dalam bahasa yang tidak etis menurut ukuran Indonesia.
Remy Sylado kemudian mampu “membayar” kejengkelan pembaca dengan 17 baris puisinya dengan dua baris puisi terakhir. “Mei Hwa di Taipeh. Farouk di Kairo”.
Masih ada lagi puisi Remy Sylado yang nakal, seperti berikut ini :
Presiden
Presiden pertama
bermain mata dengan komunis.
Presiden kedua
bermain mata dengan kapitalis.
Presiden ketiga
bermain mata dengan presiden kedua.
Presiden keempat
tidak mungkin bermain mata.
Kedua puisi yang saya kutip itu termasuk Puisi mBeling, salah satu jenis puisi kontemporer. Kata ‘mbeling’ berasal dari bahasa Jawa yang berarti nakal, susah diatur, memberontak. Sesuai dengan namanya, puisi ‘mbeling’ adalah bentuk puisi yang tidak mengikuti aturan-aturan pada penulisan puisi pada umumnya.
Dasar puisi ‘mbeling’, sesuai yang baca di media daring adalah main-main, maka kata-kata tak perlu dipilih-pilih lagi. Kebanyakan puisi ‘mbeling’ menggunakan kata-kata sindiran, olok-olok, ejekan, bahkan kritikan terhadap puisi yang kaku itu sendiri.