Puisi mbeling memiliki ciri-ciri mengutamakan unsur kelakar. Pengarang memanfaatkan semua unsur puisi berupa bunyi, rima, irama, pilihan kata, dan tipografi untuk mencapai efek kelakar tanpa ada maksud yang disembunyikan (tersirat).
Selain Remy Sylado, dua penyair lain yang senang membuat puisi ‘mbeling’ adalah ANM Massardi dan Jeihan Sukmantoro. Beberapa puisi ketiga penyair ini pernah dimuat di media dari dengan tajuk ‘’11 puisi mbeling”.
Dilansir dari Ensiklopedia Kemdikbud, Remy lahir di Malino, Sulawesi Selatan pada 12 Juli 1945. Ia lahir dari ayah bernama Johannes Hendrik Tambajong dan ibu bernama Juliana Caterina Panda.
Remy dikenal publik Tanah Air karena sosoknya yang serba bisa, mulai dari menjadi ilustrator, penata rias, penyair, cerpenis, termasuk novelis. Ia juga berprofesi sebagai kritikus sastra, pemusik, penyanyi, dramawan, bahkan wartawan.
Remy yang seniman keturunan Minahasa sempat menempuh pendidikan di Makassar namun pindah ke Semarang pada tahun 1954. Di Semarang, ia banyak menghabiskan waktu anak-remajanya dan lulus dari bangku SMA pada tahun 1950. Ketika tinggal di “Port of Java” inilah Remy ikut mementaskan drama yang diangkat dari karya Shakespeare dengan judul “Midsummer Night’s Dream”. Kecintaannya pada dunia seni lantas membawanya ke Kota Solo, tempat Remy melanjutkan studi di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI).
Pada tahun 1959-1962, ia juga melanjutkan studinya di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Solo, kemudian Akademi Bahasa Asing.
Kariernya berlangsung lebih dari lima dekade, sebagai aktor ia muncul di belasan film layar lebar dan merupakan salah satu aktor paling disegani di generasinya. Ia juga seorang penulis aktif yang beberapa karyanya telah diadaptasi ke layar lebar. Salah satu film populer yang pernah dibuat berdasarkan tulisannya adalah “Ca-bau-kan” (2002) dari novel berjudul sama “Ca-bau-kan : Hanya Sebuah Dosa (1999).
Penampilannya dalam drama romantis “Tinggal Sesaat Lagi” (1986), drama keluarga “Akibat Kanker Payudara” (1987) dan drama keluarga “2 dari 3 Laki-Laki” (1989) mendapatkan apresiasi dan pujian kritis, yang kesemuanya itu membuatnya mendapatkan nominasi untuk Piala Citra di Festival Film Indonesia, ketiganya sebagai Aktor Pendukung Terbaik.
Masa kecil
Dia besar di lingkungan keluarga Tambayong di Malino, Gowa, masa kecil dan remaja dihabiskan di Semarang dan Solo. Sejak kecil hobi bertanya tentang banyak hal terkait dengan urusan agama. Latar belakang agamanya yang kuat membuat orang tua Remy mengirimnya untuk bersekolah ke seminari.
Ia memulai karier sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil Bandung (sejak 1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (sejak 1971), ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung.
Dia menulis kritik, puisi, cerpen, novel (sejak usia 18), drama, kolom, esai, sajak, roman populer, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya. Ia juga salah satu pelopor penulisan Puisi mBeling bersama Jeihan dan Abdul Hadi WM.
Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, berdrama, dan tahu banyak akan film. Ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Kusala Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya “Kerudung Merah Kirmizi”.
Remy juga dikenal sebagai seorang Munsyi, ahli di bidang bahasa. Dalam karya fiksinya, sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang tidak diragukan lagi.
Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung. Seniman ini rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua dan menelusuri pasar buku tua. Dia masih menulis karyanya dengan mesin ketik dan banyak melahirkan karya berlatar budaya di luar budayanya. Di luar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang berceramah teologi.
Remy Sylado pernah mengajar di beberapa perguruan tinggi di Bandung dan Jakarta, seperti Akademi Sinematografi, Institut Teater dan Film, Sekolah Tinggi Teologi. Dia seorang poliglot (dapat mengetahui, menggunakan, dan menulis dalam banyak bahasa), menguasai banyak bahasa. Dalam beberapa kesempatan, dia sering berpakaian serbaputih sebagai ciri khasnya. Kini, lelaki aneh ini telah pergi, tetapi puisinya tetap tinggal di sini. (*)