Saya lalu menghubungi Harun Al Rasyid, Direktur PT Katalis Indonesia yang bergerak di bidang pengembangan SDM dan konsultan marketing politik. Kami bertemu di Starbucks, Mal Ratu Indah (MaRI). Rupanya dia bersama Sakka Pati, sekarang Doktor, adik letting kami di Fakultas Hukum Unhas. Dr Sakka Pati merupakan dosen yang berkarier di almamaternya, Fakultas Hukum Unhas. Ada banyak hal yang kami obrolkan, tapi poinnya adalah saya menawarkan ide pembuatan buku, dan tentang gerakan 1000 taman bermain yang lama mengendap.
Soal ide pembuatan buku, tidak mudah saya komunikasikan, karena akan mendokumentasikan satu produk janji politik dari Danny-Deng Ical. Apalagi Danny Pomanto sering merepresentasikan dirinya sebagai anak lorong na Makassar. Ide tentang gerakan 1000 taman bermain itu yang agak alot lantaran harus dibahasakan lebih sederhana tapi visioner.
Kepada Harun Al Rasyid dan Sakka Pati, saya sampaikan bahwa ide besar dari gerakan 1000 taman bermain adalah Kota Layak Anak (KLA). Saya kemukakan, konsep KLA itu berawal dari penelitian Kevin Lynch, seorang arsitek dari Massachusets Institute of Technoligy di 4 kota. Yakni, Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City. Penelitian tentang Childrens Perception of the Environment ini jadi cikal bakal lahirnya gagasan KLA, yang dimotori UNESCO, UNHABITAT, dan UNICEF.
Eureka. Benang merahnya didapat. Jadi, kami bersepakat akan menyampaikan perlunya menjadikan Makassar sebagai Kota Layak Anak, karena pencetusnya di dunia juga berlatar belakang arsitek, sama dengan Danny Pomanto. Oleh Harun Al Rasyid, saya diajari cara mengkomunikasikan ide itu secara sederhana, lugas, dan memikat.
Hari berikutnya, Harun Al Rasyid dan Sakka Pati, mengajak saya menemui Danny Pomanto untuk menyampaikan dua ide itu: buku dan KLA. Di sela-sela agenda walikota yang terbilang sangat padat, kami akhirnya bisa menemui Danny Pomanto, di kantor arsiteknya di Jalan Lanto Daeng Passewang.
Selepas Magrib, Harun Al Rasyid, Sakka Pati, saya dan Mahmud BM, saat itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, bertemu Walikota Makassar, Danny Pomanto, di kantornya yang berada satu gedung dengan Kafe Enak-Enak. Penyampaian kedua ide itu terasa mengalir lancar, setelah Danny Pomanto menyampaikan bahwa di kantornya dia punya kebijakan membolehkan staf-stafnya membawa anak-anak mereka ke kantor.
Satu visi. Itulah titik kesamaan pijak kami, ketika ide tentang buku dan KLA ditawarkan. Meski secara teknis, pada tahap awal, kami diminta berkoordinasi dengan Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Makassar dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) soal KLA. Dalam pelaksanaan deklarasi KLA, selain kedua institusi itu, terlibat pula Dinas Pendidikan Kota Makassar. Sedangkan untuk urusan buku, kami berkoordinasi dengan Badan Arsip, Perpustakaan dan Pengolahan Data Kota Makassar, sekarang Dinas Perpustakaan Kota Makassar.
Buku yang merekam pemikiran para penulis terkait lorong, dan implementasi 8 Jalan Masa Depan yang jadi visi misi Danny Pomanto-Deng Ical, pada masa 100 hari pemerintahannya, akhirnya diluncurkan di Jalan Amirullah, Makassar, pada Jumat, 30 Januari 2015. Selain sebagai kontributor tulisan, saya juga merupakan editor buku berjudul “MasaDPan Makassar, Dinamika Demokrasi dan Pemerintahan” itu.
Sebelumnya, pada Senin, 22 September 2014, dilakukan deklarasi Kota Layak Anak di Lapangan Karebosi, yang merupakan Titik Nol Kota Makassar. Deklarasi ditandai dengan pembubuhan tanda tangan pada prasasti oleh Walikota Makassar, Danny Pomanto, Ketua DPRD Kota Makassar, Rahman Pina, dan sejumlah perwakilan stakeholder.
Usai deklarasi, Ibrahim Saleh, Sekretaris Daerah Kota Makassar, saat itu, mendekati saya sambil berkata, “Saya tahu, siapa di belakang layar acara ini.” Komentar itu saya dengar, saat saya baru saja melayani wawancara sejumlah media yang meminta tanggapan atas deklarasi KLA yang dilakukan. Ibrahim Saleh merupakan mitra saya ketika jadi Kepala Dinas Sosial Kota Makassar.
Saya, Harun Al Rasyid dan Sakka Pati memang tidak tampak menonjol selama dan hingga acara selesai. Kami lebih berperan sebagai support system. (*)