Sewaktu membuat laporan polisi dan memperlihatkan bukti-bukti foto jenazah almarhum yang penuh lebam, memar dan luka di beberapa bagian tubuhnya, sejumlah petugas di ruang SPKT Polres Maros spontan meyakini adanya unsur kekerasan yang dialami korban. Tapi anehnya saat sudah berada di lantai 2 ruang Reskrim Polres Maros, seorang oknum penyidik berpangkat perwira langsung menyampaikan bahwa pihak keluarga harus siap menerima dengan lapang dada apapun hasil dari penyelidikan nanti. Pernyataan ini jelas secara psikologis membuat keluarga langsung patah semangat.
Inikah bentuk pelayanan aparat Kepolisian sesuai slogan ‘PRESISI’ yang selalu digaungkan dan dibanggakan institusi Polri ? Dalam hal ini, pihak penyidik Polres Maros belum mulai bekerja, kok langsung memberikan pernyataan demikian ? Bahkan kepada Viranda selaku pelapor, disampaikan juga bahwa jenazah almarhum akan diotopsi sembari menceritakan dan menggambarkan bagaimana bentuk kegiatan otopsi tersebut.
Viranda sebagai seorang perempuan, tutur James, tentunya merasa ngeri mendengarkan gambaran pelaksanaan otopsi itu sehingga spontan saja menolak jika mayat adiknya hendak mengalami perlakuan demikian. Mendengar hal itu, oknum penyidik termaksud menyuruh Viranda agar meminta ayah almarhum segera membuat surat pernyataan keberatan dilakukan otopsi.
“Meski oknum penyidik berkali-kali menelpon atau mengirim pesan via chat whatsapp ke Viranda yang terkesan mendesak untuk segera membawa surat pernyataan keberatan dilakukan otopsi, saya tetap tidak mau membuatnya. Saya tahu hukum, sebab soal visum atau otopsi, itu merupakan kewenangan penyidik yang sudah diatur dalam pasal 133, 134 dan 135 KUHAP. Nah kalo saya membuat surat pernyataan keberatan dilakukan otopsi, kan saya bisa diancam pidana penjara sesuai pasal 222 KUHP,” papar James.
Tindakan keberpihakkan lainnya yang ditunjukkan oknum penyidik Polres Maros adalah ketika membuat pernyataan dan kesimpulan sendiri di beberapa media terkait hasil visum RS Grestelina. Kemudian saat pelaksanaan otopsi oleh Tim Forensik Dokpol Biddokkes Polda Sulsel di Pekuburan Kristen Pannara pada Kamis (26/01/2023), dimana oknum Kasat Reskrim Polres Maros kembali berulah yang awalnya berkeras tidak mengizinkan seorang wakil keluarga yang berprofesi dokter, yakni dr Johanna Wehantouw (tante kandung almarhum) untuk ikut menyaksikan jalannya pelaksanaan otopsi.
Soal hasil otopsi lapangan yang dilaksanakan di lokasi Pekuburan Kristen Pannara, dan pemeriksaan lanjutannya yang dikabarkan semula hendak dibawa ke laboratorium Unhas, dan terakhir berubah menjadi dibawa ke sebuah laboratorium swasta bukan milik Unhas tetapi dokter-dokternya alumni Unhas yang terletak di ruko-ruko Jl. G. Bulusaraung, Makassar, menimbulkan keraguan bagi pihak keluarga soal hasil yang benar-benar independen dan murni tanpa rekayasa.
Dugaan keberpihakkan lainnya yang ditunjukkan oknum penyidik Polres Maros, terlihat ketika pihak keluarga mendapat petunjuk baru dan kemudian melakukan investigasi terkait dugaan lokasi kematian Virendy yang sesungguhnya bukan di daerah Tompobulu, Kabupaten Maros, melainkan di daerah Malino, Kabupaten Gowa.
Dugaan lokasi meninggalnya almarhum di Malino cukup beralasan. Sebab dari hasil investigasi yang dilakukan keluarga, banyak warga Malino yang melihat/menyaksikan rombongan peserta Diksar sekitar 10 orang mengenakan kaos seragam warna merah dan dikawal puluhan panitia serta seniornya, melintas di sepanjang jalan poros depan obyek wisata Hutan Pinus Malino pada Jumat (13/01/2023) malam sekitar pukul 20.00-21.00 Wita.
Jika dikaitkan dengan evakuasi jenazah Virendy yang kemudian dibawa ke RS Grestelina Jl Hertasning, Makassar, maka besar kemungkinan mobil yang membawa almarhum meluncur dari Malino, Kabupaten Gowa. Sebab jika dikatakan jenazah korban dievakuasi dan dibawa dengan mobil dari Tompobulu, Kabupaten Maros, kenapa harus ke RS Grestelina ? Berapa banyak RS yang dilewati dari Maros ke Makassar ?
Petunjuk baru dan hasil investigasi keluarga ketika disampaikan ke pihak Polres Maros, tampaknya tidak begitu direspon positif oleh oknum penyidik sehingga terjadi ketegangan dan perdebatan dengan pihak keluarga bersama kuasa hukumnya. Saat itu oknum penyidik berkeras menyatakan ada saksi warga di Tompobulu yang melihat proses evakuasi korban. Namun pernyataan itu diprotes keluarga sehingga akhirnya beberapa oknum penyidik Polres Maros berangkat ke Malino pada Jumat (10/02/2023) untuk mengambil keterangan sejumlah warga.
“Melalui surat yang dilayangkan kuasa hukum kami ke Kapolda Sulsel maupun Irwasda dan Propam Polda Sulsel, kami keluarga besar almarhum Virendy berharap dan meminta agar kasus kematian anakda ini dapat dituntaskan secara terang benderang demi menegakkan keadilan sehingga kelak dikemudian hari tidak ada lagi korban jiwa dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di lingkungan Unhas. Sebaiknya pula penanganan kasus ini diambil alih pihak Polda Sulsel. Jika kasus ini tidak diusut tuntas dan mencerminkan keadilan, maka kami keluarga akan bersurat juga ke Presiden RI, Kapolri, Komnas HAM dan Ombudsman untuk meminta keadilan hukum,” tegas James mengakhiri keterangannya. (*)