Sebelumnya, pada tahun 2018. Pomanto juga menyalahkan Kapolda Sulsel yang menahan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Makassar Erwin Syafruddin Haiyya telah berakibat melumpuhkan roda pemerintahan. “Jelas penahanan ini sangat berpengaruh, sekarang proyek Pemkot Makassar tidak ada yang jalan,” (rakyatku, 29/1/2018)
Pada saat banjir kemarin pun demikian, Danny Pomanto menyalahkan akibat air laut pasang dan tingginya curah hujan. Pernyataanya yang kemudian memantik polemik dengan Mantan Komisioner KPK Laode M Syarif itu, yang menyebutkan bukan karena pasang, tapi lebih karena proyek reklamasi. “Jangan salahkan curah hujan dan air pasang karena dari dulu sudah seperti itu. Itu karena reklamasi dan alih fungsi rawa jadi area komersial rumah dan kantor. (Detiksulsel, 14/2/23).
Dari pengalaman itu maka jelas bahwa sikap gaya menyalahkan pihak lain, bukan kali pertama. Karenanya bila melihat sikap Danny Pomanto dalam soalan Adipura bukan sesuatu yang istimewa. Mungkin sudah menjadi watak kepemimpinannya. Artinya, tidak menutup kemungkinan sikap yang sama akan terus berulang dalam kasus yang lain.
*Blame Trap*
Bagi politisi, setiap harinya semua menjadi medan citra yang sebisa mungkin tetap positif di mata masyarakat. Kampanye-kampanye negatif, statement buruk, atau pandangan yang berpotensi merendahkan kepemimpinan, akan coba dihindari.
Strategi politik yang banyak ditempuh, tidak terkecuali dengan cara mencari-cari kambing hitam (scapegoat) menyalahkan pihak lain. Baik secara halus atau terang-terangan. Seperti di Amerika, masa Obama menyebut orang-orang yang menolak kebijakan pembatasan senjata sebagai orang-orang tidak punya akal. Tidak terkecuali politik di Indonesia, di mana pemerintah tidak jarang menyalahkan performa ekonomi nasional turun, menyalahkan ekonomi negara lain (global).
Strategi ini diambil untuk keluar dari jebakan disalahkan (blame trap). Disalahkan oleh masyarakat karena pemerintah tidak mampu mengatasi penjualan senjata ilegal dalam kasus Obama dan tidak bisa mendongkrak kinerja ekonomi dalam negeri dalam kasus Indonesia. Penghindaran ini agar membuat citra mereka tetap positif di mata masyarakat.
Bila dalam soalan kegagalan Pemkot meraih Adipura, lantas Walikota menyalahkan pihak lain, maka itu jadi strategi agar “tangannya tetap bersih”. Demikian juga citranya di masyarakat tetap positif.
Jika mengacu pada agenda reformasi birokrasi yang dicanangkan Pemkot dalam Grand Design 2010-2025, secara tidak langsung fakta kinerja rendah OPD juga mengisyaratkan belum efektivnya program pembenahan kinerja di lingkungan Kota Makassar. Padahal gambaran ideal organisasi birokrasi yang objektif, rasional, efektif, dan profesional (Weber, 1920), nyatanya birokrasi di Kota Makassar masih kental dengan ciri kepemimpinan tradisional, di mana organisasi baru jalan ketika selalu diawasi dan diperintah oleh sang pemimpin.
Model kepemimpinan tradisional ini menyebabkan bawahan baru bekerja ketika selalu diawasi. Bila tidak maka jangan harap mereka bekerja optimal. Problemnya, bukan hanya pada birokrasi itu sendiri. Dalam hal ini, Burns mengajukan pentingnya kepemimpinan birokrasi transformasional di mana pemimpin yang bisa pengaruhi anak buahnya, dipercaya dan diteladani (Burns, 1085).
Dengan begitu, masalah Makassar bukan di tataran bagaimana keterlibatan pihak terkait termasuk legislatif dalam menyusun perencanaan program kerja dan menjalankan program kerja yang sudah direncanakan. Tapi masalah kita warga Makassar, bagaimana menghadapi watak kepemimpinan dari seorang pemimpin yang senang blame trap atau menyalahkan orang lain dan pemimpin yang tidak mampu mentransformasi birokrasi menjadi efektif. Akibatnya, kepada siapa kita berharap atau haruskah kita beromong kosong bertanya ke negara tetangga Singapura ? Tabe diii. (***)
Banyak membangun Baliho , tdk mampu membangun lingkungan hidup kota dengan baik — membangun kekayaan dari uang rakyat