“Malam itu juga disepakati bahwa saya nanti yang akan menyaksikan langsung jalannya otopsi. Tapi kenyataannya apa yang dijanjikan itu tidak terealisasi pada hari pelaksanaan otopsi di lokasi Pekuburan Kristen Pannara Makassar dan terkesan ada dugaan upaya yang tidak menghendaki pihak keluarga ikut menyaksikan langsung pelaksanaan otopsi tersebut,” ketusnya.
Ibu Virendy menerangkan pula, pada Kamis (26/01/2023) pagi itu, dirinya sudah berkemas dan bersiap mengikuti pelaksanaan otopsi. Namun sebelum kegiatan otopsi berlangsung, Ketua Tim Dokter Forensik melakukan briefing di dalam area yang terpasang garis polisi (police line). Dalam briefing dinyatakan bahwa setelah tim dokter forensik selesai melaksanakan tugasnya, barulah pihak keluarga diberi kesempatan masuk ke bilik tenda tertutup untuk menggantikan pakaian almarhum dan melihat jenazah sebelum dikuburkan kembali.
Ketua Tim Dokter Forensik juga menyampaikan, bisa 1 (satu) orang anggota keluarga ikut hadir menyaksikan jalannya pelaksanaan otopsi jika bersangkutan berlatar belakang medis, apakah dokter atau perawat. Kebijakan tersebut membuat ibu almarhum harus meninggalkan atau keluar dari area police line tempat pelaksanaan otopsi dengan perasaan kecewa.
Kebijakan yang tidak sesuai dengan harapan keluarga maupun janji penyidik Polres Maros saat bertandang ke rumah Telkomas pada Selasa (24/01/2023) malam, tak membuat keluarga putus asa dan langsung menghubungi tante kandung almarhum, yakni dr Johanna Wehantouw meminta datang ke Pekuburan Kristen Pannara.
Sewaktu dr Johanna sudah datang ke lokasi otopsi, lagi-lagi terlihat adanya indikasi yang tidak menginginkan perwakilan keluarga ikut menyaksikan jalannya otopsi. Akibatnya terjadi ketegangan dan perdebatan dengan Kasat Reskrim Polres Maros, Iptu Slamet, yang mengundang perhatian sejumlah wartawan televisi dan media massa yang hadir.
Setelah melalui perdebatan yang menyita waktu cukup lama, akhirnya dr Johanna dibolehkan masuk ke dalam tenda tertutup tempat pelaksanaan otopsi yang dijaga ketat sejumlah aparat kepolisian. Namun saat masuk ke dalam tenda tertutup itu, dr Johanna hanya melihat tim dokter sementara menjahit kembali bagian dada/tubuh yang dibelah sebelumnya, tak ada lagi kegiatan pembedahan bagian atau organ tubuh yang bisa disaksikannya. Sehingga iapun tidak lama berada di dalam tenda tertutup tersebut dan keluar dengan rasa kecewa.
Selanjutnya, setelah tim dokter forensik Biddokkes Polda selesai bertugas dan meninggalkan tenda otopsi dan lokasi pekuburan, keluarga pun berkemas dan bersiap untuk masuk ke dalam tenda otopsi guna menggantikan pakaian almarhum dan melihat jenazah sebelum dikuburkan kembali.
Kenyataannya, beberapa waktu lamanya, keluarga harus menunggu lagi instruksi dari Kasat Reskrim yang saat itu masih berada di dalam tenda otopsi bersama sejumlah petugas Inafis Polres Maros tanpa diketahui apa yang mereka lakukan. Anehnya, usai menunggu dan kemudian mendapat instruksi masuk ke tenda otopsi, alangkah terkejutnya pihak keluarga karena jenazah Virendy sudah rapih dan telah mengenakan pakaian baru yang disiapkan keluarga sebelumnya.
“Tak berkesempatan menggantikan pakaian almarhum seperti yang dijanjikan Ketua Tim Dokter Forensik saat memberikan briefing, lagi-lagi membuat keluarga kecewa dan bertanya-tanya hingga menimbulkan dugaan sepertinya pihak penyidik tidak menghendaki pihak keluarga melihat pelaksanaan otopsi dan mengetahui bagian-bagian tubuh mana yang dibelah atau dibedah oleh tim dokter forensik,” tuturnya.
Kekecewaan keluarga kembali dirasakan ketika Ketua Tim Dokter Forensik didampingi Kasat Reskrim Polres Maros memberikan keterangan pers di hadapan sejumlah wartawan yang sejak pagi berada di lokasi pekuburan, dengan menyampaikan bahwa hasil otopsi lapangan terhadap jenazah Virendy ini selanjutnya akan dibawa ke Laboratorium Unhas untuk dilakukan uji forensik.
Pernyataan itu kemudian dipertanyakan keluarga ke penyidik Polres Maros bahwa kenapa harus dibawa ke Laboratorium Unhas, kenapa tidak ke laboratorium forensik milik Polri di RS Bhayangkara yang cukup lengkap dan independensinya terjamin ? Pertanyaan tersebut selanjutnya dijawab lewat screen shoot percakapan penyidik dengan Kasat Reskrim Polres Maros yang menyampaikan perihal perobahan laboratorium, yakni dibawa ke Laboratorium Patologi yang beralamat di ruko Jl Gunung Bulusaraung, Makassar. Laboratorium swasta tersebut bukan milik Unhas, tetapi dokternya adalah alumni Unhas.
“Mendapat jawaban itu, kami keluarga hanya bisa pasrah saja, dan berdoa semoga pemeriksaan laboratorium terhadap hasil otopsi jenazah almarhum benar-benar sesuai harapan semua pihak khususnya keluarga, penuh independensi dan transparansi. Karenanya kami jadi terkejut ketika membaca pemberitaan beberapa media yang mempublish pernyataan penyidik Polres Maros tentang penyebab kematian Virendy yang konon berdasarkan keterangan dokter ahli yang tertuang dalam surat hasil otopsi,” sergah Ny Femmy.
Mengakhiri keterangannya, ibu empat anak ini meminta pihak penyidik Polres Maros memberikan tembusan atau salinan surat hasil otopsi kepada keluarga sesuai yang telah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan dimana disebutkan bahwa keluarga juga berhak mendapatkan hasil otopsi tersebut.
“Surat hasil otopsi itu juga untuk kami pelajari dan konsultasikan dengan dokter ahli yang independen guna dijadikan perbandingan, bahan koreksian dan kemungkinan mengajukan saksi ahli di persidangan,” pungkasnya.
Kesimpulan Tak Berdasar
Terhadap penyebab kematian Virendy seperti yang disimpulkan dan dinyatakan penyidik Polres Maros dalam pemberitaan beberapa media massa, seorang dokter ahli dan spesialis penyakit dalam yang dihubungi dan dikonsultasikan pihak keluarga almarhum, Sabtu (11/03/2023) malam mengemukakan, gagal sirkulasi akibat banyak kehilangan darah, ini menyebabkan jantung tidak mendapatkan darah yang cukup untuk dipompakan ke otak sehingga timbul kematian.
“Mengenai disebutkan ada lemak yang menyumbat, saya kira ini kesimpulan yang tak berdasar. Kesimpulan yang ditambah-tambah oleh pihak lain, bukan kesimpulan dari dokter ahli. Karena jika ada lemak yang sumbat, maka penyebab kematian adalah serangan jantung koroner, dan hal itu tidak mungkin terjadi pada diri almarhum yang masih berusia muda. Jadi tidak mungkin dokter ahli berkesimpulan begitu,” tegasnya singkat dari balik telepon maupun lewat percakapan aplikasi whatsapp. (*)