Dengan melihat data tawuran di atas, hampir setiap tahun, hampir semua kampus khususmya kampus besar di Sulsel tidak pernah luput dari aksi tawuran mahasiswa. Alih-alih hilang aksi kekerasan antar kelompok itu, trennya justru saban tahun meningkat. Ketika terus berulang, maka dapat dipastikan tawuran bisa saja mengarah kepada sesuatu yang banal.
*Tawuran ke Organisasi Primordial ?*
Para mahasiswa yang terlibat tawuran dipicu oleh banyak hal. Menarik, riset yang dilakukan Firdaus mahasiswa UNM, terhadap faktor yang melatarbelakangi ikut tawuran (2016). Dia membaginya tiga, dari faktor ajakan senior, terjebak situasi, hingga rasa solidaritas kelompok. Masing-masing memberikan pengaruh terhadap motivasi para mahasiswa terlibat tawuran.
Dari tiga faktor itu, menarik melihat solidaritas kelompok menjadi faktor yang paling penting dalam memicu konflik dan memupuk kebencian atas yang lainnya. Rasa satu kelompok itu apakah berdasarkan kesamaan angkatan, fakultas, daerah, bahkan agama. Sikap solidaritas kelompok ini cenderung mengekslusi kelompok di luar dirinya. Terlebih lagi bila terjadi dalam kerumunan massal. Ego kelompok itu akan dengan mudah muncul ke permukaan secara cepat dan kuat.
Beberapa tawuran mahasiswa yang terjadi di Sulsel banyak disebabkan oleh solidaritas kelompok ini, dari membela gengsi fakultas hingga atasnama organisasi daerah. Kasus tawuran selama dua hari di Unhas kemarin, salah satunya dipicu oleh penurunan spanduk organisasi mahasiswa asal daerah oleh salah seorang mahasiswa yang panitia acara salah satu organisasi fakultas lain. Tidak terima, lantas mahasiswa asal daerah tersebut langsung cekcok mulut kemudian adu jotos lalu kemudian meluas menjadi tawuran yang melibatkan banyak mahasiswa dari berbagai kelompok dan fakultas lainnya.
Pada faktor solidaritas kelompok, para mahasiswa yang berhimpun di organisasi kedaerahan justru sangat rentan. Pasalnya, mereka cenderung merasa memiliki perasaan yang sama (ingroup feeling) terhadap situasi di luar dirinya, sehingga bila ada satu rekannya yang mendapat perlakuan kurang menyenangkan, anggota yang lain dengan mudah merasakannya. Tanpa diminta, perlakuan yang diterima seseorang itu bisa berubah seketika menjadi emosi massal. Tidak terlepas apakah itu kawanan intelektual atau orang biasa.
Motif beda organisasi daerah itu bisa saja mendompleng pada objek lainnya, seperti karena beda fakultas, kampus, dan lain sebagainya, sehingga tawuran antar mahasiswa semakin meluas. Hal ini sebagai cara mencari dukungan massal. Padahal bila ditelusuri lebih jauh, emosi kelompok kedaerahan kerap menjadi pemicunya.
Begawan aktivis HMI Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah menyebut organisasi primordial bagi organisasi mahasiswa daerah. Bahkan meledek mereka yang masih terkungkung dalam batas-batas geografis lokal kedaerahan, meski mereka berada di ruang terbuka yang modern. Membayangkan mahasiswa daerah datang ke Kota Makassar, namun setelah tiba di kota yang beragam ini, mereka masih berkumpul dengan orang-orang daerahnya. Tidak berbaur. Berbicara masih dengan bahasa yang sama, persoalan yang sama, hingga target yang sama setelah lulus.
Tidakkah lebih menarik organisasi-organisasi mahasiswa yang lebih menasional seperti HMI, GMNI, PMII, dan PMKRI. Bukankah dengan berkumpul dengan organ seperti HMI, mahasiswa akan lebih terbuka jaringannya, pengalamannya, hingga pengetahuannya, mengingat lebih beragam orang-orangnya.
Karenanya bila organisasi primordial itu tidak lantas membuat mahasiswa lebih cerdas, bersikap inklusif dalam berorganisasi, dan bahkan menjadi pemicu tawuran, sebaiknya ditata ulang, bila tidak ingin diminta masyarakat dibubarkan. Terutama dari sistem pembinaannya. Jangan sampai, organisasi itu hanya jadi jebakan bagi mahasiswa asal daerah untuk tidak maju dan tidak berani untuk berinteraksi dengan yang lain.
Hal menarik lainnya, organisasi primordial ini rupanya ikut dimanfaatkan oleh para politisi daerah. Pasalnya, tidak sedikit politisi yang mendapat insentif dari mahasiswa atau alumni yang berhimpun di organ ini, terutama dalam mobilisasi pemilih saat Pemilu Pilkada.
Karenanya bila kita mendorong wacana pembubaran organisasi primordial, sebagai cara untuk mengatasi tawuran, maka mungkin kurang menguntungkan. Sehingga tahap ini, perlu kiranya menata ulang peran dan fungsi organisasi kedaerahan ini lebih baik ke depan, agar tidak dituding sebagai sumber dan pemicu tawuran mahasiswa di Sulsel, karena organisasi kedaerahan ini, mau tidak mau, harus diakui telah menjadi penguasa dan pengendali dunia kemahasiswan di kampus-kampus di Susel ini, tak terkecuali di Unhas universitas terbesar di Indonesia Timur. Tabe. (***)