Volume massa rumah dibuat lebih ringan dengan menyederhanakan struktur mulai dari struktur atap, struktur dinding, struktur lantai, volume rumah secara keseluruhan tidak membebani struktur rakit, agar rumah dapat mengapung dan mudah bergerak pada poros dan ringan berpindah dari satu tempat ke tempat lain di atas air. Pengurangan tinggi struktur tiang bawah agar rumah tidak mudah terbalik oleh angin kencang, serta penggunaan tiang tambatan di depan rumah dimana rumah dapat berputar sesuai arah angin, menciptakan struktur goyang yang tidak melawan angin, sehingga konstruksi lebih awet.
“Secara umum, struktur rumah mengapung terbukti memiliki disaster resilience di atas air,” pungkas Prof. Naidah.
Di tempat yang sama, Prof. Dr. Ir. Ratna Musa, MT juga memaparkan orasi ilmiahnya yang berjudul ‘Optimalisasi Pola Tana Sulawesi Selatan’. Dalam pemaparannya, Prof. Ratna mengungkapkan, pertumbuhan penduduk yang pesat berimplikasi pada peningkatan kebutuhan seperti perumahan, industri, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Ini menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan atau ruang, seperti ruang terbuka (RT) dan ruang terbuka hijau (RTH), kurangnya lahan resapan menyebabkan masalah genangan, ini terjadi karena menurunnya infiltrasi karena lahan tertutup, intensitas hujan yang tinggi dan kemiringan lahan pada suatu lokasi.
Mengatasi masalah genangan tersebut, maka perlu upaya untuk memperkecil koefisien aliran permukaan sehingga kapasitas infiltrasi lebih besar. Untuk memperkecil koefsien aliran permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan penutupan lahan (land cover) yang berwawasan lingkungan agar mempercepat resapan air hujan kedalam tanah dan memperlambat aliran permukaan. Penutup lahan yang digunakan berpengaruh terhadap besarnya koefisien aliran permukaan dan air yang tertahan pada permukaan. Adanya pengaruh penutup lahan, intensitas hujan dan kemiringan lahan, dapat mempengaruhi nilai koefisien aliran permukaan menjadi besar ataupun kecil.
Kabupaten Barru memiliki beberapa Daerah Irigasi salah satunya adalah Daerah Irigasi Kiru-Kiru. Pada daerah ini musim hujan berlangsung pada bulan Oktober hingga bulan April, sedangkan musim kemarau dari bulan April hingga bulan September. Ketersediaan air melimpah pada saat musim penghujan, Namun saat musim kemarau ketersediaan air berkurang sehingga tidak cukup untuk mengairi lahan persawahan sehingga produktifitas pertanian berkurang.
“Untuk meningkatkan hasil pertanian per satuan luas adalah dengan menyediakan air irigasi yang baik dan mengatur metode penanaman yang lebih ideal. Salah satu upaya untuk mencapai tujuan tersebut, dengan optimalisasi pola tanam, sehingga perlu dilakukan perencanaan pemanfaatan persediaan air dengan cermat sehingga diperoleh keuntungan maksimal dari ketersediaan air yang ada yang sesuai fungsinya,” jelasnya.
Dan berdasarkan data dan hasil analisa dari kajian dan eksperimen penelitian yang terkait, dapat disimpulkan bahwa pola tanam yang sesuai dengan kondisi Daerah Irigasi Kiru-Kiru adalah pola tanam padi-padi-palawija. (zl)