“Saya mau bicara sebagai orang bodoh sajalah bahwa semua aturan yang dibuat oleh manusia bisa diubah kecuali kitab suci misalnya Alkitab dan Alquran tidak bisa diubah,” tambahnya.
Untuk itu, lanjut Frans, jika hanya konstitusi sebagai penghalang membatasi dengan periodisasi maka menurutnya bisa diubah dari dua periode menjadi tiga periode jika ada kemauan politik dalam membangun bangsa ini seperti yang dilakukan oleh Presiden Jokowi.
“UUD 45 yang sakral sejak dibuat oleh pendiri bangsa ini saja sudah diubah empat kali di era reformasi. Di era reformasi periode presiden dibatasi karena anggapannya adalah jika ada pemimpin terlalu lama memimpin bisa terjadi KKN. Ada penilaian negatif kepada kepemimpinan nasional seperti itu. Sekarang pertanyaan dibalik, jika ada pemimpin nasional yang bekerja dengan baik untuk bangsa dan negara ini, apakah harus dibatasi dengan alasan konstitusi yang hanya membolehkan seorang presiden hanya dua kali periodenya?,” ujarnya.
Kemudian karena alasan konstitusi juga, lanjut Frans, maka pemimpin yang bagus itu tidak bisa melanjutkan masa jabatannya untuk membangun negara ini.
‘Sekali lagi kalau pemimpinnya tidak bagus maka perlu dibatasi konstitusi, tetapi jika pemimpinnya bagus maka konstitusi bisa diubah dong. Saya harus berkata jujur bahwa di era kepemimpinan Presiden Jokowi masyarakat bangsa Indonesia bisa merasakan hasil karyanya dan juga merasakan kedekatannya dengan presidennya pada setiap kunjungan ke berbagai daerah di Indonesia,” ucapnya.
Terakhir dia mengatakan, saat ini hari ini tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia kepada Presiden Jokowi di angka presentasi 80 an.
“Jika kepuasan dan kepercayaan rakyat seperti itu maka kepada elit politik di parpol-parpol yang menguasai DPR RI saya mengimbau dengarlah suara rakyat dan lakukan amandemen terhadap konstitusi negara kita. Anda tidak berdosa justru disayang Tuhan karena suara rakyat adalah suara Tuhan,” pungkasnya. (*)