“Saya kira kontestasi gagasan harus dikedepankan di luar hal-hal yang terkait dengan ketatanegaraan yang mungkin banyak membuat kita kecewa. Bukan berarti kita harus larut dengan arus yang ada dan kita tidak bisa bikin apa-apa. Pemilu masih ada waktu 70 hari, semuanya masih bisa berubah. Kita masih mengubahnya dan pastikan pada tanggal 14 Februari 2024, teman-teman tidak tidur di kosnya masing-masing. Kalau pulang kampung, tidak tinggal tidur di rumah saja, tetapi pastikan datang ke TPS dan gunakan hak pilihnya,” papar Endang Sari.
Indonesia bisa berubah dengan 53 persen pemilih muda dan genZ yang terdaftar dalam daftar pemilih di KPU. Indonesia bisa berubah dengan komitmen keberpihakan pada kebijakan untuk kepentingan publik yang lebih baik. Itu akan ditentukan pada bagaimana kita menggunakan hak pilih kita dan teman-teman akan memilih.
“Satu isu yang jadi di KPU dan menjadi PR (pekerjaan rumah) kami adalah bahwa angka partisipasi yang rendah itu justru disumbang oleh mereka yang terdidik. Mereka yang terpelajar. Mereka yang menganggap bahwa mereka tahu semua teori tentang demokrasi, tetapi mereka menganggap pemilu tidak akan mengubah apa-apa. Lantas tidak berbuat apa-apa dan membiarkan yang terpilih adalah orang yang itu-itu saja yang tidak membawa perubahan, tidak ada isu-isu yang berhasil dibahas dalam pemilu. Semua orang pintar, orang terdidiknya, terpelajarnya, memilih untuk menghindar dari proses pemilu yang sementara berlangsung. Sementara nasib bangsa kita sedang dipertaruhkan hingga hari ini,” kata Endang Sari dengan tegas.
Dia membentangkan, di KPU, ternyata orang golput itu ada tiga tipenya. Pertama, golput karena administrasi. Bisa karena kesalahan KPU dan juga dirinya yang tidak mempersiapkan administrasinya.
Kedua karena apatis, banyak sekali di Kota Makassar ini. Itu ditemukan di kantong-kantong suara tempat orang terdidik semuanya. Kami sudah riset ini soalnya. Contohnya Tamalanrea, di lokasi-lokasi banyak mahasiswa berdiam, mereka ambil KTP di Kota Makassar hanya untuk memudahkan mereka mencari pekerjaan. Ketika kuliah, mereka tinggalkan Makassar lantas mereka lupa mencabut (mengubah) KTP-nya (Makassar).
Ketiga, karena apolitis, jelas sudah punya KTP, tidur pada saat hari H. Tidak datang ke TPS-TPS saat pemungutan suara. Di Tamalanrea, sepi, karena rata-rata anak mudanya tidak datang ke TPS. Urusan organisasinya lebih penting, pemilu lima tahun itu tidak penting. Apatis dan mengangggap pemilu tidak akan mengubah apa-apa.
“Begitu yang kami dapatkan. Bukan hanya Tamalanrea, Panakkukang, daerah sekitar UMI, Bosowa, Rappocini, sekitar Unismuh. Daerah Parangtambung Kecamatan Tamalate tempat UNM, kampus-kampus besar penyumbang angka golput tertinggi di Makassar,” ungkap Endang Sari mengenai hasil penelitian yang dilakukan lembaganya.
Apakah pemilu tidak mengubah apa-apa? Pemilu akan mengubah semuanya. Dalam teori politik tidak ada yang lepas dari politik. Mulai kita tidur hingga bangun semuanya diatur oleh kebijakan politik. Semuanya. Masa kuliah mahasiswa diatur oleh Bidang Pendidikan. Kebijakan itu, ya politik. Berapa beasiswa yang teman-teman dapat, dan berapa yang didapat anak-anak yang tidak mampu, itu didapat dari hasil kebijakan dan proses politik di bidang pendidikan. Semua ditentukan dalam kebijakan politik dan ditentukan pada pemimpin yang memegang pena untuk menandatangani kebijakan tersebut. Pemimpin akan dipilih sekali dalam lima tahun dalam pemilu. Sementara banyak sekali mahasiswa yang menganggap pemilu tidak mengubah apa-apa. Siapa bilang. Kita akan memilih orang yang melahirkan kebijakan yang mereka bawa. Bagaimana porsi APBN kita akan di kemanakan? (MDA/Bersambung)