Perjalanan Tri-Lintas (3) : Bertemu Taliban, Siapa Takut?

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Oleh Musdah Mulia

Pada awal 2012 saya menerima telepon dari teman lama yang bertugas di kantor UNFPA Kuala Lumpur. Dia mengundang saya menjadi pembicara di sebuah konferensi dan lokakarya bertema demokrasi dan program penguatan hak dan kesehatan reproduksi di Kabul, Afghanistan. Dia jelaskan juga bahwa sebagian pesertanya adalah para mullah Taliban.

Setengah berteriak saya mengulangi ucapannya, “Taliban?”
“Betul,” jawabnya. “Berani nggak kamu bicara di hadapan Taliban?”
Tanpa berpikir panjang, saya jawab, “Siapa takut?”

Usai bertelepon, saya baru sadar bahwa Afghanistan bukanlah wilayah damai. Sering sekali terjadi bom bunuh diri dan bentrokan bersenjata antara tentara pemerintah dan milisi Taliban. Namun, kapan lagi saya punya kesempatan bertemu langsung dengan orang-orang Taliban yang dikenal sangat merendahkan perempuan. Saya tidak ingin kehilangan momen penting ini!

Kampanye Keluarga Berencana di Kabul, 2012

Beberapa minggu kemudian, persisnya pada 20 Februari 2012 saya berangkat ke Wina, Austria, memenuhi undangan Universitas Danube. Selain saya, pembicara dari luar Austria yang juga diundang adalah Prof. Dr. Asghar Ali Engineer, penulis, aktivis sosial, dan tokoh Muslim reformis yang sangat konsisten asal India. Ia dikenal secara internasional karena karyanya tentang teologi pembebasan dalam Islam, Ia pun memimpin Gerakan Progresif Dawoodi Bohra. Saya beberapa kali bertemu beliau dan kali ini saya berada dalam satu panel diskusi. Saya masih ingat betul, ketika beliau berdiri menyalami saya usai presentasi sambil menepuk bahu saya penuh kehangatan, layaknya seorang ayah terhadap putrinya. Siapa mengira, itulah pertemuan terakhir saya dengan almarhum.

Saya harus meminta maaf kepada panitia di Wina karena tidak bisa tinggal sampai acara penutupan. Malam itu saya harus terbang ke Afghanistan. Panitia awalnya mengiba agar saya mengulur waktu sampai keesokan harinya untuk menghadiri jamuan makan siang di kantor wali kota sekaligus penutupan acara secara resmi. Sayang sekali saya terpaksa menolak permintaan itu karena harus berangkat ke Kabul. Sekitar pukul 20.00 waktu Wina, panitia mengantar saya ke bandara. Dengan pesawat Emirates saya terbang menuju Dubai untuk seterusnya melanjutkan penerbangan ke Kabul.

Saya tiba di Dubai pukul 7 pagi, sementara pesawat ke Kabul baru bertolak 4 jam kemudian. Wah, gawat. Saya bukan hanya harus pindah pesawat, melainkan juga harus pindah bandara. Petugas bandara mengatakan tidak ada pesawat yang akan berangkat ke Kabul di bandara tersebut. Pesawat Ariana Airlines yang akan membawa saya ke Kabul berada di bandara Dubai lama yang letaknya cukup jauh, berjarak satu jam perjalanan naik mobil dari bandara internasional Dubai yang amat megah itu.

Baca juga :  Komunitas KPJ Rambutan Gelar Acara Buka Puasa dan Santunan Anak Yatim

Tiba di bandara lama saya membatin. “Oh, ternyata Dubai punya juga bandara yang jelek begini ya.” Tadinya saya kira semua bangunan di Dubai megah dan modern.
Tak hanya bandara itu yang terlihat buruk, pesawat yang akan saya tumpangi pun tampak sangat kumuh. Di dalam pesawat saya mengamati para penumpangnya. Selain saya tampak beberapa perempuan. Sebagian besar dari mereka memakai burqa—pakaian khusus bagi perempuan yang menutup seluruh tubuh. Bentuknya seperti mukena untuk salat, berwana biru kusam dan menyelubungi tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pada bagian mata terdapat sedikit lubang-lubang kecil untuk melihat. Saya miris melihat kondisi perempuan yang mengenakan burqa. Pastilah sangat tidak nyaman, pikir saya.

Sebagian besar penumpang pesawat adalah laki-laki berjanggut lebat dengan wajah sangar yang melihat perempuan dengan pandangan tidak ramah. Sebelumnya, ketika berada di bandara Dubai yang megah, saya melihat dua perempuan yang tak berjilbab. Sekarang mereka menutup rapat seluruh kepala, hanya tersisa sebagian kecil wajah. Saya pun mengikuti mereka, menambahkan kain selendang di atas jilbab yang sudah terpasang di kepala saya sejak dari Wina.
Setelah terbang sekitar dua jam lebih, pilot mengumumkan pesawat sudah mendekati bandara Kabul. Dari jendela terlihat dari kejauhan bandara Kabul yang kecil dan sangat sederhana, seperti bandara Halim Perdanakusuma tahun 1970-an. Pesawat mengalami kesulitan mendarat karena landasan penuh dengan salju tebal. Saya melihat sejumlah petugas sibuk membersihkan salju dari landasan agar pesawat bisa mendarat dengan baik.
Alhamdulillah, akhirnya pesawat pun mendarat meski dengan susah payah.

Sungguh aneh, kemarin di Wina saya tidak melihat salju sedikit pun. Namun, di Kabul salju terlihat tebal memutih di seluruh wilayah bandara dan menutupi area pegunungan di sekitarnya. Saya ternyata bisa menikmati indahnya salju justru di Asia dan bukan di Eropa.

Saya segera keluar dari pesawat mengikuti para penumpang lain menuju ruangan bandara yang tampak tua dan kumuh. Kondisi bandaranya mencerminkan negara ini sangat terbelakang. Saya pun tambah terkejut melihat begitu banyak tentara dengan senapan siap tembak di sekitar bandara. Terasa sungguh mencekam.
“Jangan pernah keluar bandara sebelum bertemu petugas UN yang menjemput Ibu.” Kalimat itu berkali-kali diingatkan panitia sebelum saya berangkat.

Baca juga :  Meningkatkan Kualitas Haji, Menag Nasaruddin Umar Emban Misi Presiden Prabowo ke Arab Saudi

Untunglah, begitu tiba di ruang pengambilan bagasi, seseorang menghampiri saya sambil tersenyum ramah dan menunjukkan identitas diri sebagai petugas UN. Saya pun segera mengikutinya keluar bandara tanpa kesulitan melewati imigrasi karena dia sudah melaporkan identitas saya. Kami menuju mobil resmi UN yang didesain khusus, anti peluru. Ada perasaan tidak nyaman yang segera menyergap, tetapi kemudian saya segera sadar mengapa harus menggunakan mobil itu.

Tak lama mobil kami sudah meluncur di jalan raya menuju Hotel Serena, satu-satunya hotel yang dianggap layak dan aman di Kabul. Hotel itu hanya disediakan bagi para delegasi UN dan petugas kemanusiaan dari berbagai negara. Sepanjang jalan menuju hotel terlihat banyak tentara bersenjata lengkap. Bahkan, tidak sedikit tentara berdiri di atap gedung dengan mata tajam mengawasi. Suasana terasa semakin mencekam.
Perhatian saya lalu tertuju kepada sejumlah pengemis di pinggir jalan. Mereka memakai burqa. Sempat terlihat seorang perempuan menggendong anak kecil di dalam burqa. Saya sangat khawatir anak itu akan kekurangan oksigen. Saya juga sulit memastikan, apakah semua pemakai burqa itu perempuan? Boleh jadi mereka laki-laki yang memakai burqa untuk mengemis atau untuk tujuan lain.

Semakin lama kami berjalan, semakin banyak terlihat pengemis yang memakai burqa. Ada juga sejumlah anak-anak dengan rentang usia antara 4-12 tahun. Sebagian nekat mengganduli mobil kami. Mereka berteriak-teriak meminta uang dan makanan sembari menunjuk mulut mereka. Saya merasa iba melihat itu dan tanpa pikir panjang membuka dompet untuk memberikan uang. Mendadak petugas UN memperingatkan, “Jangan! Itu sangat berbahaya.” Saya pun mengurungkan niat.

Afghanistan adalah negara Islam sangat miskin dengan angka kematian ibu melahirkan paling tinggi di Asia, sekaligus negara dengan angka kelahiran sangat tinggi. Inilah negara yang tercabik-cabik oleh perang dan konflik tak berkesudahan. Berita bom bunuh diri dan kontak senjata sudah merupakan menu utama sehari-hari. Saya ingat sekali ketika check in di hotel, hal pertama yang dijelaskan oleh resepsionis adalah tata cara evakuasi dari serangan bom. Dia menjelaskan letak bunker, tempat pertama yang harus dituju ketika terjadi serangan bom. Alih-alih menenangkan, penjelasan itu justru membuat saya merinding dan tidak bisa tidur lelap selama berada di sana.

Baca juga :  Tim SAR Temukan Korban Tenggelam Di Sungai Jompie Bone

Salah satu faktor yang membuat kondisi perempuan dan masyarakat terpuruk dalam hal kesehatan adalah tidak terpenuhinya hak dan kesehatan reproduksi perempuan. Padahal, jumlah warga perempuan sekitar setengah penduduk Afghanistan. Pemerintah abai terhadap hak dan kebutuhan mendasar rakyatnya, terutama kaum perempuan. Pemerintah kurang peduli terhadap pelayanan kesehatan reproduksi dan kelangsungan hidup warganya.

Sejak Taliban berkuasa, perempuan ditarik dari ruang publik. Mereka dilarang bekerja dan harus berada di rumah atau ruang domestik. Sangat sering pemuka atau mullah Taliban berucap bahwa wajah perempuan adalah sumber malapetaka buat laki-laki yang bukan mahram. Itulah sebabnya sejak rezim Taliban mendominasi Afghanistan, seluruh perempuan wajib mengenakan burqa.
Para perempuan yang tadinya bekerja sebagai guru, hakim, dokter, perawat, karyawan perusahaan, dan profesi lainnya kehilangan pekerjaan. Akibatnya, kemiskinan semakin mendera masyarakat. Para perempuan yang sebelumnya memiliki penghasilan tetap dan sebagian bahkan menjadi penyangga utama ekonomi keluarga terpaksa menganggur.

Sebagian menjadi pelacur dan pengemis. Anehnya, ketika mereka mengemis dan melacur, pemerintah Taliban membiarkan mereka berada di jalan atau di area publik.
Situasi perempuan di Afghanistan banyak mengalami kemunduran sejak dekade 1960-an. Ironisnya, foto-foto masa lalu justru menunjukkan kehidupan modern perempuan Afghanistan yang kini tertutup dan terisolasi akibat kekuasaan Taliban. Perempuan bekerja di ruang publik adalah haram bagi Taliban.

Pada pertengahan dekade 1970-an kehadiran perempuan masih menjadi pemandangan normal di lembaga pendidikan tinggi. Perempuan pun ikut dalam konflik bersenjata sejak 1980-an. Pada masa itu Afghanistan diduduki Uni Soviet. Invasi Soviet berujung pada sepuluh tahun perang berdarah. Generasi pertama perempuan di pasukan militer ini kelak akan menjadi salah satu tulang punggung angkatan bersenjata baru yang dibentuk setelah invasi Amerika Serikat.

Sampai awal 1990-an mahasiswi di Kabul tidak jengah berkumpul dengan teman laki-laki mereka. Kemudian, Taliban naik ke puncak kekuasaan. Namun sejak Taliban berkuasa pada 1996, semua perempuan diwajibkan mengenakan burqa di tempat-tempat umum. Selain itu, semua instansi pemerintah dipaksa memecat pegawai perempuan. Akibatnya, tak lama setelah Taliban berkuasa, kemiskinan dan pengangguran merajalela. Di sisi lain pemerintah Taliban tidak mampu memenuhi janjinya untuk menyejahterakan masyarakat. Akhirnya, di seluruh negeri terjadi kekacauan. (Bersambung).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Prof. Dr. Tasmin Tangngareng, M.Ag. Hadis Nabi Justru Digunakan Menjustifikasi Kekerasan Simbolik

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar Prof.Dr. Tasmin Tangngareng, M.Ag mengatakan, di tengah...

Meriah Gerak Jalan Cilik se-Kecamatan Lilirilau 

PEDOMANRAKYAT ,SOPPENG – Masih dalam suasana perayaan HUT ke 80 Kemerdekaan RI , panitia menggelar kegiatan gerak jalan...

Polsek Marioriwawo dan Marioriawa Gelar Patroli Blue Light 

PEDOMANRAKYAT ,SOPPENG – Masih dalam suasana pasca peringatan HUT ke 80 Kemerdekaan RI ,yang tetap berlanjut dengan sejumlah...

Prof. Dr. Hj. Darmawati H, S.Ag, M.HI Medsos Sering Dianggap Sarana Perselingkuhan

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Telepon pintar (“smartphone) dan internet memudahkan hubungan kapan dan di mana saja. Namun di balik...