DOSEN FISIP dan pengamat politik Endang Sari, S.IP, M.Si. mengatakan, tema hak angket saat ini merupakan topik yang memanas pascapilpres dan pemilu 2024 yang tiba-tiba saja salah satu tim pasangan calon mengajukan hak angket. Jika kita runut secara kronologis itu dimulai dari tahapan Pemilu 2024 yang dilaksanakan dan ada hal-hal dalam pelaksanaan pemilu yang rasa-rasanya itu kemudian mengusik beberapa pihak untuk memulai mempertanyakan bagaimana sikap DPR, lembaga representasi rakyat, yang harus menjaga keseimbangan kekuasaan dalam prinsip “check and balance” dalam sistem ketatanegaraan kita.
“Kalau kita runut dari persoalan politik yang terjadi, kita tahu hasil “quick count” (hitung cepat) yang dikeluarkan lembaga survei menjelang hari pemilu 14 Februari 2024, tiba-tiba ada perbedaan yang sangat mencolok dengan ‘real count” (hitung manual) yang dilaksanakan KPU. Walaupun kita tahu hasil “real count” KPU itu belum selesai karena rekap secara berjenjang masih sementara berjalan, masih ada di tahap kabupaten/kota, setelah sebelumnya 14 Februari dimulai dengan rekap Tempat Pemungutan Suara (TPS), yang dilanjutkan dengan rekap tingkat kecamatan dan kota, dan seterusnya rekap tingkat provinsi dan nasional, dan hasil pemilu akan ditetapkan” kata Endang Sari.
Dan ada yang janggal, sebut Endang Sari, pada soal Mbah Sirep (maksudnya sirekap), kemudian ada yang berbeda dengan “real count” tersebut dengan hasil “quick count” yang dikeluarkan oleh sejumlah lembaga survei beberapa hari yang lalu sempat memanas karena ada partai yang pada hasil hitung cepat tidak mencapai 3% total perolehan suara secara nasional, tapi kemudian dalam waktu sekejap suaranya bertambah sangat signifikan pada rekap tersebut. Ada yang menduga kalau ini terus berlangsung bisa jadi partai tersebut akan mencapai ambang batas parlemen (parlementary threshold).
Menurut Endang Sari, dalam kajian politik, kehadiran lembaga survei melalui hitung cepat menjadi penyeimbang, sama dengan sistem ketatanegaraan John Lock, Montesquieu, bahwa harus ada pemisahan kekuasaan. Kewenangan itu tidak boleh dipegang oleh satu pihak atau lembaga saja, tetapi ada “second opinion” (opini kedua) dan kewenangan, Wewenang legislatif dan yudikatif untuk mencegah kekuasaan tidak korup. Kehadiran lembaga hitung cepat dalam realitas pemilu kita untuk menyeimbangkan opini publik.
Endang Sari juga menyinggung adanya film “Dirty Vote” yang diluncurkan menjelang hari pemilu. Film ini sepakat atau tidak sudah membentuk opini di masyarakat Indonesia bahwa kecurigaan polarisasi penyaluran bantuan sosial (bansos) demi kekuasaan, juga disampaikan bagaimana pelaksana tugas dan penjabat kepala daerah hingga kepala desa dan pemekaran Papua yang sangat tendensius politik. Ini termasuk menjadi pendorong lahirnya hak angket DPR.
Endang Sari menyebutkan, dalam perjalanan rekap berjenjang yang dilakukan KPU saat ini, ternyata kemudian ditemukan ada banyak sekali kasus yang beredar di media sosial soal penambahan suara. Misalnya dalam berita kita ketahui dalam rekap provinsi ada koleksi data besar-besaran dilakukan pada salah satu kabupaten di Sulsel misalnya. Hasil pada beberapa TPS yang meningkat direkap kecamatan dan kemudian terkoreksi direkap kabupaten/kota.
“Hak angket merupakan alarm dalam ketatanegaraan kita bahwa kekuasaan itu tidak boleh diserahkan kepada satu pihak saja. Kekuasaan itu sangat berpotensi untuk korup ketika tidak dibagi dan akan menjadi tiran karena tidak ada yang menjaga keseimbangannya dalam kekuasan dijalankan,” ujar mantan Komisioner KPU Makassar tersebut.
Dari sisi pandangan ilmu politik apakah hak angket ini bisa keluar sebagai suatu keputusan, tentu ini harus dilihat pada komposisi kekuatan partai politik yang ada di DPR. Kita tahu, yang getol menyampaikan usul hak angket ini adalah partai merah Pendukung yang menolak hak angket adalah pendukung pemerintah saat ini, ada beberapa partai politik. Kekuatan yang mendorong dan menolak hak angket hampir berimbang.
Lagi-lagi sistem ketatanegaraan kita ini adalah soal kepentingan. Kalau dari kacamata politik, cara pandangnya adalah sudut pandang kepentingan. Pilihan terhadap sistem pemilu dan sistem politik akan menentukan polarisasi kekuasaan di DPR. Pilihan sistem pemilu kita untuk melakukan pemilihan langsung dan sistem pemilu untuk menerapkan sistem proporsional terbuka dan mutlipartai terbatas seperti pada masa Orde Baru akan menyebabkan komposisi pemenang pemilu itu tidak akan pernah dominan dalam perebutan kursi di DPR.
Mengutip suatu penelitian yang dilakukan oleh salah seorang peneliti di beberapa negara, Endang Sari mengungkapkan bahwa negara yang melaksanakan pemilu dengan sistem multipartai tidak akan pernah memperoleh dukungan yang dominan di parlemen. Peraturan tata negara kita, di mana pemilihan atau pemilu akan menentukan komposisi kekuatan di DPR. Sama dengan yang terjadi saat ini, dalam hitung cepat, kemenangan PDIP hanya 16%, Golkar 15%. Artinya, tidak ada pemenang tunggal yang sangat super power di DPR, sehingga ini akan menyebabkan situasi politik di negara ini akan sangat cair. Koalisasi sangat terbuka dilakukan. Ini memungkinkan,. partai mana yang dapat mendialogkan kepentingannya bisa melakukan negosiasi politik, maka itulah yang akan berhasil diusung di DPR.
Ketika Indonesia menerapkan multipartai, maka DPR akan merupakan lembaga yang terbuka kemungkinan terjadinya koalisi. Tidak bakal ada partai yang menang secara mutlak dalam pemilu.
“Di sini peluang hak angket bisa dilakukan dan menjadi tantangan ketika koalisi yang menolak misalnya berkeras dalam hal ini,” kata Endang Sari sambil menambahkan, hasilnya dua, bisa jalan dan bisa tidak, bergantung pada perimbangan kekuatan kursi di parlemen. Semua itu dipengaruhi oleh bagaimana sistem pemilu kita diatur dari bawah.
Hak angket, kata Endang Sari, akan melahirkan dua produk, yakni rekomendasi penyelidikan lebih lanjut dan kedua laporan kepada Presiden berkaitan dengan tindakan apa yang dilaksanakan. Karena sistem presidensil yang kita pilih tidak akan memberikan kewenangan yang bisa memengaruhi kebijakan pada ranah eksekutif. Presiden yang dipilih secara langsung punya mandat yang lebih besar dan sangat kuat untuk diberhentikan di tengah jalan. Hampir pasti dalam sistem presidensil, pemakzulan presiden tidak bisa dilakukan. (Bersambung MDA),