Menurut suami Dr.Fatmawati S.Ag., M.Ag., kebenaran dalam konteks post-truth cenderung diarahkan pada selera yang diinginkan kelompok sosial tertentu meskipun pada prinsipnya ‘kebenaran’ ini tak mencerminkan kebenaran yang sesungguhnya. Sehingga, pada gilirannya masyarakat akan diselubungi antitesis dari pengetahuan dan kebenaran yang hakiki. Sebagai akibatnya, maka ‘post-truth’ akan rentan memprovokasi informasi yang diproduksi dengan tujuan mempermainkan dan mengaduk emosi khalayak dan menggiring sebuah kebenaran dalam menyampaikan informasi dan gagasan.
Dalam konteks keilmuan, sebut alumni Doktor UIN Alauddin 2010 ini, gejala ‘post-truth’ menjadi sebuah ancaman yang serius bagi ranah keilmuan, termasuk juga dalam ranah kajian keagamaan seperti bidang Ilmu Fikih.
“Post-truth dapat menjadi sebuah “bencana” pengetahuan yang dapat merusak pola berfikir dan pola nilai masyarakat,” kata Guru Besar UIN Alauddin dengan pangkat Pembina Utama Muda Golongan IV/c ini.
Ayah dua anak ini menyebutkan, banyaknya informasi seputar fikih Islam yang ditawarkan di dunia maya (internet) sebagiannya dapat dikatakan “tidak bertuan” dan tidak jelas sumbernya. Bahkan terkadang informasi itu bersifat sangat subjektif dan tersebar begitu cepat dan justru mendapat kepercayaan dari masyarakat.
“Tidak hanya memercayainya, bahkan menjadi “agen” untuk menyebarkannya (share) lagi informasi tersebut karena dianggap sangat cocok dan bisa mewakili kondisi mereka serta dianggap ‘benar’. Dalam kondisi seperti ini maka terjadilah ‘post-truth’, yaitu nilai kebenaran hanya diukur dari aspek kecocokan penerima informasi, sehingga faktor emosi dan keyakinan pribadi menjadi titik sasar yang dituju oleh penyebar informasi itu,” sebut Prof.Suhufi Abdullah kemudian mengatakan, ranah fikih menjadi sebuah sasaran yang sangat mudah terpapar ‘post-truth’ sebab fikih berkaitan dengan praktik ibadah keseharian yang sangat berkaitan dengan emosi dan keyakinan pribadi para pemeluknya.
Prof. Suhufi Abdullah menyebutkan, apalagi jika dikaitkan dengan dasar kajian fikih yang merupakan kajian yang senantiasa memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, sehingga sangat mengkhawatirkan jika kebenaran ‘post-truth’ ini dianggap sebagai salah satu pendapat ulama fikih atau bahkan bisa dianggap sebagai sebuah mazhab fikih. (MDA).