Oleh: M.Dahlan Abubakar
Ahad (23/6/20224) kita dikagetkan dengan berita duka, Tanri Abeng, berpulang ke rakhmatullah pada pukul 02.36 di RS Medistra Jakarta dalam usia 83 tahun. Dia lahir 7 Maret 1942-23 Juni 2024 di Pulau Selayar. Pada usia 10 tahun orang tuanya meninggal dan dikirim untuk tinggal dengan kerabatnya di Makassar. Setelah menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) di Makassar, Tanri diterima dalam program American Field Service (AFS) Exchange Program, Amerika Serikat.
Sekembali dari Amerikat ia melanjutkan pendidikan ke Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin. Dua temannya di fakultas itu, M,.Jusuf Kalla dan Halide. Namun dia tidak selesai di Unhas, hanya sampai tingkat V. Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke ‘Graduate School of Business Administration’ University of Buffalo, New York hingga meraih gelar Master of Business Administration (MBA),
Sebelum mengantongi MBA, Tanri mengikuti program ‘management training union carbide’ Amerika Serikat. Ia kemudian melamar dan diterima di Uniion Corbide Company (UCC) Amerika Serikat. Ia kemudian dipindahkan ke Indonesia dan menjabat Manajer Keuangan UCC di Jakarta (1969-1979) , juga menjabat Direktur PT UC Indonesia dan Direktur Agrocarb Indonesia, Direktur Karmi Arafura Fisheris (1971-1976), merangkap sebagai manajer pemasaran Union Carbide Singapura dan Manajer Pemasaran Union Carbide Indonesia (1977-1079).
Pada tahun 1979 ia pindah ke perusahaan bir Belanda, Heinekenn, PT Perusahaan Bir Indonesia, meskipun tidak minum bir. Menjadi CEO perusahaan tsb setelah menjalani wawancara 15 menit. Ia mengubah PT Perusahaan Bir Indonesia itu menjadi Multi Bintang Indonesia yang pada tahun 1982 mencatat laba Rp 4 miliar, naik dari hampir Rp 500 juta dibandingkan sebelum dia bergabung.
Pada tahun 1971 dia mundur dari perusahaan itu dan hengkang ke Bakrie & Brothers dan menjadi CEO-nya, namun dia merangkap sebagai ketua non-eksekutif Multi Bintang Indonesia hingga Maret 1998. Segudang jabatan pernah mampir pada seorang Tanri Abeng.
Ketika Presiden menjalani tahun-tahun terakhir kekuasaannya, Tanri Abeng didaulat sebagai Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara Indonesia I (16 Maret 1998-20 Oktober 1999). Dia menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi manajer profesional. Lantaran keberhasilannya sebagai seorang manajer, dia dijuluki sebagai ‘manajer satu miliar”. Gajinya satu bulan satu miliar.
Pelajaran bagi bangsa
Pada tanggal 15 Maret 2019, saya memperoleh kesempatan bertemu langsung dengan Tanri Abeng di Jakarta. Ceritanya, pada hari itu ada peluncuran bukunya berjudul “Pelajaran Bagi Bangsa, 50 Tahun Kinerja Profesional Tanri Abeng” yang ditulis oleh Fachry Ali. Undangan menghadiri peluncuran buku tersebut ditujukan kepada rekan Dr.Tammasse, M.Hum dan dia minta ditemani karena undangannya memang dua orang. Acara berlangsung di sebuah hotel dan dihadiri Wakil Presiden M.Jusuf Kalla.
Di dalam buku tersebut banyak cerita yang menarik. Di antaranya yang berkaitan dengan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pelat merah PT Garuda Indonesia yang bagaikan gadis cantik yang seksi dan menggiurkan. Sebagai gadis cantik kerap berulah. Paling parah, selalu membuat heboh. Dalam dua periode kepemimpinan Garuda terakhir, Emirsyah Satar dan Ari Askhara, telah menggiring perusahaan penerbangan negara ini ke jurang masalah. Dirut yang pertama ditengarai melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pembelian mesin pesawat, yang kedua didakwa menyelundupkan barang mewah (onderdil Harley Davidson dan sepeda Brompton).
Fachry Ali menulis begini di halaman 235 buku tersebut:
“Pada akhir pertemuan saya (Tanri Abeng) yang kedua dengan Pak Harto, beliau menyodorkan map berisi ancaman pembangkrutan Garuda dari para investornya. Beliau berpesan bahwa Garuda adalah bendera negara dan tidak boleh di-“grounded”. Jadi harus diterbangkan. (Bahan itu) saya pelajari. Ternyata, Garuda sudah bangkrut karena modalnya sudah negatif 300 juta dolar Amerika Serikat dengan utang 1,6 miliar dolar, setara dengan Rp 20 triliun, kala itu.
Keputusan saya adalah mengganti direktur utama (dirut) atau pimpinan puncak Garuda. Namun, pimpinan Garuda waktu itu sangat baik dan juga saya kenal, Pak Supandi (seorang) marsekal, mantan ajudan Pak Harto. Jadi, kawan-kawan saya menasihati untuk tidak mengganti dirut Garuda.
“Jangan mengganti orang dekat Pak Harto. Tetapi, saya tidak punya pilihan lain,” kata Tanri Abeng dalam wawancara dengan Fachry Ali di Jakarta, September 2017.
Tulis Fachry lagi, “Dengan sedikit berdebar-debar, saya menghadap Pak Harto dengan keyakinan bahwa beliau akan setuju mengganti anggota direksi, namun mempertahankan dirut. Jadi, saya mulai menjelaskan permasalahan Garuda dan mensyaratkan bahwa tidak banyak pilihan untuk menyelamatkan bendera Republik itu. Tanpa saya sadar, saya sudah menyatakan kepada Pak Harto bahwa saya harus mengganti dirutnya. Saya pun lalu merasa bersalah, karena tidak sopan berkata “harus” yang berarti tidak ada pilihan lain bagi Pak Harto kecuali beliau pecat saya. Akan tetapi apa yang terjadi?
Pak Harto tertawa terbahak-bahak, lalu mengatakan,”Kenapa dirutnya saja yang harus diganti? Seluruh direksi diganti saja”.
Masalah Garuda ini terbawa juga hingga kepemimpinan bangsa beralih dari Pak Harto ke B.J.Habibie. Ketika mendiskusikan reformasi perbankan, PT Garuda misalnya, Habibie bertanya kepada Tanri tentang orang-orang yang dianggap mampu. Lalu, sebagaimana dikisahkan Habibie sendiri:
“Secara spontan dan tegas Tanri menjawab Robby Djohan yang saat ini sedang menjabat sebagai direktur utama Penerbangan Garuda Indonesia, …Ada yang dapat menggantikan jabatan Robby Djohan sebagai direktur utama Garuda Indonesia dan siapa orangnya? Jawaban Tanri Abeng jelas dan tegas pula, ialah Abdul Gani,” dikutip Fachry Ali dari buku “Baharuddin Jusuf Habibie: Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (Jakarta, THC Mandirim, 2008) hlm 192.
Perilaku berbisnis yang terjadi di internal PT Garuda pun dibeber Tanri Abeng. Pada halaman 263. Fachry Ali menulis:
“Dalam PT Garuda, misalnya, hampir semua kontrak pengadaan, dari tisu toilet sampai penyewaan dan pembelian pesawat, ternoda korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Bahkan penjualan tiket pesawat dimanipulasi oleh staf perusahaan penerbangan ini dengan memperlihatkan seakan-akan penerbangan telah penuh yang dalam kenyataannya hanya terpesan setengah. Pelanggan yang membutuhkan tiket pesawat harus membayar lebih dari harga tiket normalnya.