HADIR pada sebuah kegiatan takziah atau tauziah yang berkaitan dengan kematian seseorang bagi saya setidak-tidaknya memberikan empat manfaat. Pertama, manfaat akan beroleh ilmu agama sebagai penuntun hidup sebelum menuju dan memenuhi panggilan seperti almarhum. Kedua, memberi informasi yang bersifat edukatif. Ketiga, menawarkan aspek enterin (hiburan). Keempat, sisi kesejarahan tentang almarhum dan keluarganya.
Pada acara takziah hari ketiga kepergian H.Masri bin Harmain Pulubuhu, ayah Prof.Dr.Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A. Ahad (23/6/2024) malam, Ustaz Arifuddin Lewa, yang lebih keren dengan sapaan ‘Arle’, jamaah yang pernah mendengar ceramahnya sudah maklum. Isi ceramahnya, mencakup keempat manfaat itu, meskipun yang kental cenderung edukatif-entertain. Mendidik dan menghibur. Juga mengingatkan. Tentu tentang kematian itu sendiri.
Kegiatan takziah atas kepergian H.Masri Pulubuhu bin Harmain Pulubuhu Jumat (21/6/2024) pada malam pertama menampilkan Prof.Dr. Muhammar Bakry, Guru Besar UIN Alauddin Makassar, Rektor Universitas Islam Makassar (UIM) dan juga Imam Besar Masjid Al Markaz Al Islami Makassar. Pada malam kedua, tampil Ustas Firdaus Malik, S.Sos.I.
Acara takziah mungkin bagi setiap orang biasa-biasa saja. Tetapi tidak biasa bagi saya. Pasalnya, dari konten tauziah banyak sisi ‘human interest’ yang menarik perhatian dan layak menjadi catatan tersendiri. Ini mungkin sisi yang sederhana saja, tetapi akan memperkaya pengetahuan dan bisa mengembangkannya dengan dukungan beragam rujukan. Saya beruntung karena sebagian masalah kehidupan ini tersedia rujukan dalam bentuk buku di perpustakaan pribadi.
Takziah pada hari ketiga ini jika dibagi dapat dipetakan menjadi dua bagian besar. Bagian pertama yang penuh dengan canda dan tawa yang diselang-selingi pengetahuan keagamaan, tetapi pada bagian kedua yang berupa sambutan pihak keluarga almarhum yang dibawakan Prof.Dwia Aries Tina Pulubuhu, membawa yang hadir ke dalam suasana yang terasa mengharukan. Ini terutama ketika Prof.Dwia membacakan seuntai puisi untuk mendiang ayahnya.
Saya sudah menduga akan terjadi haru biru nan mengheningkan dengan pembacaan puisi ini. Apalagi berbicara tentang kematian. Yang sangat ‘berat’, puisi tersebut dibacakan oleh anaknya sendiri. Dan, ini yang super berat, dibacakan oleh anak perempuan almarhum. Tentu kita semua maklum bagaimana seorang anak perempuan membacakan puisi seperti ini, semua perasaannya tumpah ruah.
Puisi itu dibacakan dengan sangat deklamatif. Nada dan irama rima penuh penghayatan. Oleh sebab itu, sebelum membawakan sambutan keluarga, Prof.Dwia terlebih dahulu memanggil Pak Natsir Kalla, suaminya.
“Izin saya bisa ditemani Pak Natsir supaya lebih kuat,” kata Dwia saat mengawali sambutan pada takziah yang dihadiri secara lengkap oleh Prof.Basri Hasanuddin dan Ibu beserta sejumlah guru besar, dosen, kerabat, sahabat, dan undangan.
Dwia menyampaikan merasa bersyukur dan terhibur melihat kehadiran teman-teman dan saudara-saudara tiga malam, mengenang wafatnya ayahnya H.Masri Pulubuhu bin Harmain Pulubuhu. Tauziah yang dibawakan Ustaz Arle memang sangat menghibur. Bisa sejenak melupakan rasa duka keluarga atas kepergian almarhum.
“Oleh karena itu dari lubuk hati yang paling dalam, saya keluarga besar Bapak Masri Harmain Pulubuhu, kakak beradik mengucapkan terima kasih yang dalam atas kebersamaan yang sangat menghibur dan menguatkan kami atas kepergian ayah. Mohon maaf sebagian adik dan kakak saya sudah pulang ke Jakarta karena mereka ada hal yang harus dilakukan. Saya tahu mereka tidak kuat berlama-lama di sini untuk mengenang kesedihan kehilangan ayah kami,” ujar Dwia dengan suara yang datar.
Kemarin Pak Ustaz menceritakan bahwa hingga 40 hari, ‘beliau’ (Pak Masri almarhum) masih di sekitar kita. Oleh karena itu Dwia ingin berbagi yang baik-baik tentang beliau dan mudah-mudahan beliau tersenyum melihat dan Insha Allah bisa menjadi inspirasi bagi kita semua dan betul-betul kami berharap menjadi amal jariah bagi beliau.
Kematian adalah kabar tepercaya dan pasti. Tidak ternoda oleh syak wasangka sedikit pun. Tidak ada ‘hoax’ tentang kematian. Allah sendiri berfirman dalam surah Al Anbiya:35, yang artinya” Setiap jiwa pasti merasakan kematian. Dan Kami timpakan fitnah bagimu berupa keburukan dan kebaikan, Kepada Kami-lah kalian dikembalikan”.
Dwia mengatakan, H.Masri lahir di Gorontalo, 87 tahun yang lalu dari keluarga guru. Ayahnya adalah seorang guru. Setamat Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA), Masri ke Jakarta, memperjuangkan nasibnya. Dia tinggal pada keluarga hingga sampai pada karier yang cukup baik. Alhamdulillah. Beliau menjadi seorang bankir. Posisi terakhir sebelum pensiun sempat menjadi wakil pemimpin wilayah (Wapimwil) BRI, dulu Sulawesi Selatan merangkap Papua dan Maluku. Terakhir beliau dipromosi menjadi Kepala Inspektorat Wilayah BRI Kalimantan.
“Alhamdulillah dari beliau kami belajar banyak. Bagaimana kerja keras dan sekolah itu adalah yang terpenting untuk mencapai karier yang baik. Teringat pesan beliau ketika mau menikah dengan Pak Natsir, saya belum selesai sarjana. Beberapa hari menjelang pernikahan, beliau memanggil Pak Natsir,” kenang Dwia.
“Bung, anak saya belum selesai sekolahnya. Bung harus mengizinkan Tina sekolah tinggi-tinggi. Dan alhamdulillah bisa diridai oleh Allah, suami mengizinkan saya sekolah setelah berkeluarga,” kata Dwia menirukan ucapan ayahnya memberi nasihat kepada Pak Natsir Kalla agar Tina (panggilan Dwia di rumah) tetap dibolehkan bersekolah hingga selesai.
“Jadi, satu hal yang ingin saya bagikan tentang kebaikan beliau kepada kita semua adalah :sekolah…sekolah…sekolah…,” sambung Dwia.
Dwia enam bersaudara. Satu orang telah meninggal. Tetapi di rumah banyak sekali kakak beradik. Kalau ayahnya pulang menemani Ibu ke Lampung, beliau melihat ada ponakan yang susah dan tidak sekolah, diambil lagi. Pulang lagi, diambil. Kita kakak-kakak dan adik menjadi banyak. Di rumah itu seperti asrama. Kalau beliau ke Gorontalo atau ada keluarga yang asal dari Gorontalo, kalau ada yang susah dan tidak sekolah, ditampung lagi di rumah.
Yang penting sekolah. Dari tangan Masri banyak lahir ponakan-ponakan yang telah jadi. Ada yang menjadi pimpinan BRI, ada yang jadi Kepala Bappeda. Itu adalah adik-adik iparnya. Ada ponakannya. Kuncinya, sekolah.
Setahun terakhir, almarhum tinggal dengan Dwia di Makassar. Setelah menuntaskan kariernya sebagai bankir, beliau mengabdikan hidupnya untuk agama. Tinggal berdekatan dengan surau di Depok Jakarta. Berguru di sana tentang Tarikat Naqsabandiah. Dan terakhir posisinya dipercayakan sebagai imam surau.
“Ada satu tadi Ustaz Arifuddin Lewa (Arle) ceritakan tentang Alquran, mungkin ini bisa saya ‘sharing’,” kata Dwia.
Daya ingatnya luar biasa menjelang kematiannya. Beliau masih hafal nama-nama orang yang datang. Biar pun nama teman anaknya. Nama guru yoga Dwia pun dihafalnya. Dia hafal semua.
“Pak, saya mau ke Turki,” kata Dwia suatu saat sedang bertugas menelepon ayahnya yang saat itu di Depok.
“Oh..iya, jangan lupa. Nanti Tina (Dwia) ke Blue Mosque (Masjid Biru) ya, nanti letaknya di sini. Di Sofia di ini,” katanya.
“Apa Bapak sudah pernah ke sana,” Dwia bertanya balik kepada ayahnya.
“Belum. Tetapi membaca,” jawab ayahnya.
Jadi, kata Dwia, daya ingat tajam sekali.
Saat saya berkesempatan ingin ke Uzbekistan dan di sana saya ingat ada Imam Bukhari, dan Naqsabandiyah-nya, Dwia mengajak ayahnya.
“Sebelum kami pergi, beliau seperti seorang ‘guide’ yang menceritakan bagaimana Uzbekistan, di mana Bukhara, di mana Masjid Bukhara,” katanya.
“Dari mana Bapak tahu semua itu,” tanya Dwia.
“Dari membaca,” jawab ayahnya.
Ingatannya tajam, Seiingat Dwia, pada saat menjadi pimpinan, ingatannya tidak setajam itu. Ternyata yang Dwia pelajari pada hari-hari terakhir, beliau selalu dengan Alquran. Itu yang membuat beliau memiliki ingatan yang tajam. Beliau hafal tempat, hafal nama dan ingat semuanya. Pada saat mudanya tidak begitu. Pada usia tuanya justru beliau ingat. Mungkin buat kita semua, bisa menjadi pelajaran bagaimana Alquran, membaca adalah sesuatu hal yang penting.
Satu lagi, ketika kita berbicara soal lintas disiplin, multidisiplin, beliau sudah lakukan sejak muda itu.
“Setelah profesor, saya ke rumah di Surabaya. Saya membongkar buku-buku tua dan menemukan satu buku yang dibeli pada tahun kelahiran saya, 1964. Buku itu adalah “Bunga Rampai Sosiologi” karangan Prof. Selo Soemardjan yang dibeli di Banda Aceh. Subhanallah…Saya telah menjadi seorang Profesor Sosiologi tanpa saya tahu ayah pada tahun kelahiran saya telah membeli buku pada cetakan I,” kata Dwia dengan terisak.
Dwia juga membongkar buku tua dan menemukan buku ‘Perjanjian Lama’, tentang ‘Perbandingan Islam dan Kristen’ yang dibeli pada tahun 1970-an.
“Itu mungkin yang kita bisa pelajari dari seorang lelaki tua yang sangat sabar dan menjadi panutan kami. Kita punya orang tua yang tentu saja menjadi panutan semua. Saya ‘sharing’ ini supaya kita mendapatkan inspirasi dari beliau dan merupakan amal jariahnya tentang toleransi yang ditanamkan kepada kami sejak kecil,” kata Dwia.
Dwia mengikuti tugas ayahnya ke Banda Aceh, Riau, Madura, Kupang, Jawa Tengah, dan Makassar (sebagai pegawai Bank Rakyat Indonesia). Kepindahan itu bukan hanya sekadar kepindahan saja, melainkan beliau mengajarkan tentang toleransi bahwa kita sama. Beda agama, beda asal, itu tidak berarti yang satu lebih rendah dari yang lain. Beliau tidak ucapkan, tetapi bagaimana memperlakukan orang yang berbeda asal dan agama itu sama semua.
Beliau mengangkat seorang anak, kakak angkat kami sebelum kakak tertua saya lahir adalah seorang Tionghoa. Kakak kami sekarang tinggal di Sydney (Australia).
Seorang nabi pun yang menjadi contoh kita menganjurkan ‘belajar ke Negeri Cina”.
Hal-hal seperti itu yang membuat kami mengenang beliau dengan karakternya. Saya sejak kecil dikasih buku, ketika SMP buku silat ‘Koo Ping Ho’.
“Tina bawa ini. Kalau kamu istirahat di sekolah, kamu baca. Dua jilid. Sudah jilid berapa kamu baca,” pesan ayahnya sambil bertanya dan meminta Dwia menceritakan kebajikan apa yang ada di dalam cerita silat itu.
Saat SMA Dwia dibelikan buku Novel Agatha Christie, Barbara Cartland. Dari buku Agatha Christie diajarkan bagaimana tentang ‘catch spy’ untuk meneliti. Itulah beliau sangat keras, tetapi sangat sabar. Ini ponakan-ponakannya ada di sini, bagaimana seorang Masri Harmain Pulubuhu. Mudah-mudahan ini menjadi amal jariah beliau. Di antara kelemahan dan kekurangannya ada kebaikan yang bisa bagikan bersama.
Dwia juga menyampaikan terima kasih kepada para dokter yang telah merawat ayahnya. Selama setahun terakhir, ayahnya bertempat tinggal dengan Dwia agar lebih mendekatkan beliau dengan anak-anaknya. Terima kasih serupa kepada keluarga besar Pulubuhu Prof.Basri Hasanuddin, dan seluruh pengurus Yayasan Al Markaz Al Islami, tempat jenazah Masri Harmain Pulubuhu disalatkan oleh ribuan jamaah salat Jumat sebelum dibawa ke kuburnya.
“Kami sungguh kehilangan, tetapi memiliki sahabat-sahabat terdekat. Dan terima kasih kepada suami saya yang telah memenuhi janjinya kepada almarhum. Saya merasa berdosa karena beliau menginginkan saya menjadi seorang bankir juga, tetapi saya mengikuti suami mengarahkan untuk menjadi dosen. Tetapi, ayah saya bahagia, walaupun saya tidak menjadi seorang bankir. Terima kasih Bapak Ibu semuanya. Juga kepada Imam Besar Masjid Al Markaz Prof.Dr.Muammar Bakry yang memberikan tauziahnya pada hari pertama. Saya tahu ayah tersenyum di sana, ” kata Dwia.
Dalam buku “Malam Pertama di Alam Kubur” yang ditulis oleh Dr.A’idh Al-Qarni, M.A., Dr.Muhammad bin Abdurrrahman Al-Uraifi, dan Syaikh Muhammad Husain Ya’kub (Penerbit Aqwan Solo:2004) disebutkan, ada lima sosok yang bisa terbebas dari pertanyaan kubur. Pertama, orang yang mati syahid. Dari Rasyid bin Sa’ad dari beberapa sahabat Nabi disebutkan bahwa seseorang bertanya kepada Nabi, yang artinya: “Wahai Rasulullah, mengapa orang-orang beriman akan diuji dalam kubur, kecuali para syuhada. Beliau menjawab:”Kilatan pedang yang berkelebat di atas kepala mereka (para syuhada) sudah cukup menjadi ujian bagi mereka”.
Kedua, orang yang ‘ribath’ (berjaga di tapal batas wilayah kaum muslimin guna mencegah serangan musuh) di jalan Allah. Salman berkata :”Aku mendengar Rasulullah bersabda”: yang artinya,” ‘Ribath’ sehari semalam lebih baik dari puasa dan salat malam sebulan. Kalau seseorang mati (dalam kondisi ini), amalnya akan mengalir dan dicurahkan rezeki atasnya serta dijamin bebas dari ujian (kubur)”.
Ketiga, orang yang meninggal karena sakit perut. Abu Ishaq As-Su’aiby berkata:” Sulaiman bin Shord berkata kepada Khalid bin Urfathah -- atau sebaliknya -- Khalid berkata kepada Sulaiman, yang artinya:” Apakah kamu mendengar Rasulullah saw bersabda “Barang siapa yang meninggal karena (sakit) perut, tidak akan diazab dalam kuburnya. Salah seorang dari mereka menjawab:”Ya!”.
Keempat, bacaan surat Al Mulk (surat Tabarak), Rasulullah saw bersabda, yang artinya:” Surat Tabarak akan mencegah azab kubur:.
Kelima, orang yang meninggal pada hari Jumat atau malamnya. Rasulullah saw bersabda: yang artinya :Tidak ada seorang muslim yang meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat, kecuali Allah pasti akan menjaganya dari fitnah kubur”.
Dwia pun menutup sambutan keluarga dengan untaian puisi yang digubah oleh adik-adik dan kakaknya untuk mengenang ayahnya.
“Teruntuk Bapak, Opa, Opa Buyut kami yang telah beristirahat bersamanya.
Bismillahirrahmanirrahim…
Papa..kepergianmu ditandai dengan langit yang turut berduka
Semua riuh rendah mengingat amal kebaikanmu..
Kepergianmu diberkahi dengan riuh rendah muslimin-muslimat yang turut mendoakanmu dan menyalatkamu…Masya Alllah…
Betapa Allah Maha Baik kepadamu Ayah, Bapak …
Tangis ini bercampur rindu sesungguhnya..
Kami masih butuh kasih sayangmu..
Kami ingin dipeluk dan memelukmu..
Kami masih ingin mendengar semua nasihat dan petuahmu..
Kami masih ingin melihat senyum dan semangatmu..
Kami masih ingin meniru taatnya ibadahmu…Pak…
Dan kami masih merindukan doa-doamu…
Bagaimana engkau beramal dan menghargai sesama..
Bagaimana engkau mengajarkam kami untuk toleran kepada semua orang secara sama..
Bapak.. kami masih butuh mendengarmu..
Mendoakan seluruh keturunanmu dan keluargamu.
Namun…saat ini kami hanya bisa memandang nisanmu di bawah pohon.
Di bawah pohon rindang itu kami hanya bisa mengenang..
Jasa dan kebaikanmu, Bapak…
Kami menuruti semua petuahmu meneruskan semua amanahmu…
Doa kami mengiringi kepergianmu…
Semoga Allah mengampuni segala dosamu Bapak…
Semoga Allah menerima semua amalan ibadahmu..Bapak…
Semoga Alllah memberi tempat terbaik di surga-Nya…
Semoga engkau tersenyum di sini, Bapak…melihat banyaknya orang yang hadir walaupun mereka belum mengenalmu secara langsung..
Semoga teladan mengilhami hidup seluruh anak keturunanmu..
Semoga kami ‘sharing’ kepada teman-teman sebagai amal jariah..bagimu..
Selamat jalan, Bapak
Selamat bertemu kembali dengan Mama..
Insha Allah kita bertemu di dalam surga Allah saw..
Terima kasih Ayah..
Terima kasih Bapak..
Terima kasih Opa..
Yang selalu memberi kehangatan dan cinta bagi kami,
Selamat jalan..Bapak…”
“Assalamu alaikum ww.,” Dwia membacakan dan mengakhiri puisi ini dengan penuh perasaan dan penghayatan penuh.
Ketika membaca dan menghayati puisi itu, di ruang imaji saya terbayang wajah almarhum H.Masri bin Harmain Pulubuhu, lelaki yang saya kenal pada paruh tahun 1980-an. Subhanallah! (M.Dahlan Abubakar)