PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Santernya isu bakal munculnya “kolom kosong” dalam pemilihan Gubernur Sulsel mendatang memicu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dr.Ajiep Padindang, S.E. M.M. buka suara. Dia mengatakan, “kolom kosong tidak haram, juga tidak ada larangan dalam konsitusi.
“Akan tetapi jika itu terjadi akan merupakan ‘bencana’ politik dan demokrasi bagi partai politik yang memungkinkan mengusung secara gabungan parpol dan memiliki sejumlah kader yang siap maju sebagai calon gubernur/calon wakil gubernur,” ujar Ajiep Pandindang dalam acara ‘Ngobrol Politik untuk Pilkada (Ngopida) Serentak di Sulsel dengan sejumlah wartawan senior di Kafe Kanrejawa Jl.Hertasning Timur, Makassar, Rabu (31/72024).
Pada acara yang dikoordinasikan Golongan Wartawan Lanjut Umur (Glamur) pimpinan AB Iwan Azis dan dihadiri puluhan wartawan tersebut, Ajiep Padinding secara pribadi menegaskan, “kolom kosong’ meskipun tidak haram dalam konsitusi, namun bukan contoh demokrasi yang sehat. Ia mencontohkan, pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang lalu, dari 275 kabupaten/kota, terdapat 25 daerah yang melawan ‘kotak kosong’. Makassar menjadi satu-satunya kota yang memenangkan pertarungan melawan kota kosong di Indonesia.
Menurut Ajiep, kotak atau kolom kosong ini muncul disebabkan terjadinya politik transaksional dan ‘money politic’. Partai-partai yang memiliki banyak kursi di Dewan mencari selamat dengan mendukung calon yang diusung partai lain. Padahal, partainya sendiri memiliki kader yang beberapa waktu lalu digadang-gadang dan layak dicalonkan.
“Di dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) disebutkan, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis,” ujar Ajiep mengutip UUD 1945.
Pasal 40 UU No.10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU disebutkan, persyaratan calon yang memenuhi perolehan 20% kursi di DPRD atau 25% akumulasi perolehan suara yang sah dalam pemilu, direkomendasikan diganti dengan partai politik yang memiliki kursi di DPRD berhak mengajukan calon.
Adanya “parliamentary treshold” (PT) — ambang batas syara — memang dirasakan menyulitkan partai-partai politik mengusung sendiri calon jika tidak mencukup 20% kursi di DPRD.
Ajiep mengatakan, ‘’kolom kosong” diciptakan oleh ‘clan’ politik atau oligarki yang berkuasa. Jika ‘lolom kosong’ terjadi, itu akan mencipyakan bencana politik di Sulawesi Selatan. Dia mencontohkan, pada pemilihan gubernur 1998, pada awal era reformasi yang mengantar Zainal Basrie Palaguna menjabat periode kedua, meskipun meraih mayoritas dari tiga alur namun tidak muncul sebagai calon tunggal. Oleh sebab itu, menurut Ajiep, celakalah Partai Golkar sebagai peraih suara terbanyak kedua dalam pemilihan legislatif lalu kalau hanya ikut-ikutan mengusung calon yang diajukan partai politik lain.
“Jadi kita harus mendorong agar tidak terjadi kolom kosong di Sulsel,” harap Ajiep.