Tidak ada alternatif lain bagi Machmoed kecuali harus menerima jabatan rangkap itu. Meski sebenarnya masih ada beberapa wartawan lebih senior yang pantas di posisi itu.
‘’Saya tidak tahu apa pertimbangan pimpinan sehingga memilih saya untuk jabatan itu. Saya baru tahu makna penunjukan itu setelah mampu membuktikan yakni hanya 2 tahun saya nakhodai, Majalah Akselerasi menjadi majalah pertama di kawasan timur Indonesia yang dicetak offset,’’ paparnya.
Lagi pula, sejak tahun itu penyebarannya pun merambah di seluruh provinsi di Kawasan Timur Indonesia. Ternyata menangani sebuah penerbitan harus benar-benar profesional. Machmoed sangat sadari itu. Di majalah itulah dia sempat berkeliling provinsi di Indonesia.
Machmoed ternyata hanya empat tahun di majalah tersebut. Pada tahun 1974 dia minta berhenti. Mayor Drs. H. Abdullah Suara (Kepala Penerangan Kodam XIV Hasanuddin dan Penerangan Laksusda-Sulsel saat itu ) meminta Machmoed menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Mingguan Semangat Baru.
Di mingguan barunya ini, dia pun memiliki kesan yang tidak bisa dilupakan. Kejadiannya, ada sebuah berita yang menurut Mayor Drs. Abdullah Suara tidak boleh dimuat di Semangat Baru. Namun sebagai Pemimpin Redaksi (1973-1975), Machmoed bersikeras tetap memuatnya. Dia dipanggil menghadap ke Kantor Penerangan Kodam Kodam XIV. Di situ dia ditekan dan dibentak. Abdullah Suara minta agar sang Pemred mengalah dan tidak memuat berita itu. Namun Machmoed tetap pada pendiriannya. Abdullah Suara jengkel. Dia membanting pintu kamarnya dengan keras dua kali. Dia marah besar. Apa lagi Machmoed tetap bergeming memuat berita itu. Semua Pegawai Penerangan Kodam diam membisu. Mereka sangat takut dengan yang akan terjadi. Apa lagi Machmoed mantan pegawai di kantor Penerangan Kodam.
‘’Saya diancam. Jika Laksus Kodam XIV Hasanuddin tidak bisa menerima baik berita itu maka saya harus bersedia ditangkap dan dipenjara. Pada saat itu dengan tegas saya menyatakan siap,’’ tuturnya.
Ternyata Laksamana TNI Soedomo yang saat itu menjadi Panglima Kopkamtib saat berkunjung ke daerah ini sangat menghargai berita itu. Dia memberikan acungan jempol. Barulah saat itu Mayor Drs. Abdullah Suara mau menerima Machmoed untuk menemuinya. Tidak ada terima kasih yang keluar dari mulutnya. Sejak itu Abdullah Suara sangat mempercayai terhadap apa yang diperbuat sang Pemred Surat Kabar Semangat Baru itu.
Mingguan ini berhenti terbit sebab Drs. Abdullah Suara diangkat sebagai Bupati Luwu. Dia juga meminta Machmoed menjadi staf Humas Pemkab Luwu. Tetapi, dia dengan tegas menolaknya.
‘’Saya memang sudah ditakdirkan sebagai wartawan,’’ kata Machmoed yang kemudian bergabung dengan Surat Kabar Harian Tegas sejak tahun 1975 sampai 1999.
Di harian ini dia sempat menjabat Wakil Pemred pada tahun 1997. Dua tahun kemudian menjadi Pemred Mingguan Abadi Nusantara.
Ada pengalaman menarik yang dialami Machmoed Sallie pada tahun 1981. Saat itu, bersama saya (PR), Bachtiar M.Amran (Kompas), Titiek K (Fajar), Mantjo Radia (Pos Makassar), memenuhi undangan Atik Sutedja (alm), Bupati Mamuju. Pada waktu itu, jalan darat ke Mamuju sering diistilahkan ‘’bernapas dalam lumpur’’.
Rombongan berangkat dari Makassar pukul 08.00 menumpang mobil Hardtop DD 1 MU. Tiba di Mamuju pukul 22.00 setelah melalui perjalanan yang sangat melelahkan. Pak Atik mengambilalih stir, ketika kendaraan melewati satu sungai besar yang menggunakan rakit. Kata Pak Atik, ada buaya besar di sungai itu, ketika dia memaksa meloncatkan hardtopnya hingga ke pinggir sungai. Di tengah jalan, rombongan menemukan ada kendaraan yang terjebak di dalam lumpur dan ditinggalkan begitu saja oleh pengemudinya.
Atik Sutedja sengaja mengajak para wartawan untuk suatu kunjungan bersejarah. Mengunjungi Kecamatan Kalumpang di kaki gunung Sandapan yang tak pernah dikunjungi pejabat bupati mana pun sebelum dia.
Malam-malam sebelum berangkat, ada teman yang hendak mengusulkan kepada Pak Bupati agar membatalkan saja dulu kunjungan ini. Masalahnya, perjalanan cukup berat. Setelah melalui laut dengan speedboat , rombongan harus naik katinting (sampan) motor tempel lagi menuju Trailu. Di situ rombongan akan bermalam, sebelum melanjutkan perjalanan ke Kalumpang.
Trailu adalah sebuah desa transmigrasi. Kebanyakan penduduknya berasal dari Soppeng. Desa ini masih asri. Tampak benar baru saja dibuka. Di sana-sini tampak rawa-rawa. Kelihatannya cukup subur. (Bersambung).