Semisal mempertahankan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) yang hanya bersifat kebanggaan semua yang menara gading. Padahal, keberhasilan prestasi anak bangsa di bidang olahraga melibatkan perasaan dan kebanggaan masyarakat karena pada kegiatan ini mereka memiliki keluarga yang dengan susah payah membela nama daerahnya.
Seperti ditulis Tribun Timur, Jumat (20/9/2024), target lima besar yang dipatok Pengurus KONI Sulsel dan Dispora dinilai terlalu ambisius. Pasalnya, kita tidak berhitung, dua tuan rumah, Sumut dan Aceh, pada PON XXI Papua berada di bawah peringkat Sulawesi Selatan (ke-11). Aceh menduduki peringkat ke-12 dengan 11 emas, 7 perak, 11 perunggu (total 29) dan Sumatra Utara pada peringkat ke-13 dengan 10 emas, 22 perak, 23 perunggu (total 55). Tuan rumah sudah menjadi tradisi selalu berjuang keras dengan beragam cara agar berada pada peringkat 1 digit.
Ternyata benar, Sumatra Utara meroket ke peringkat IV dengan perolehan medali emas 79, perak 59, perunggu 116 dan Aceh pun melesat ke peringkat VI dengan 65 emas, 48 perak, 79 perunggu.
Jika dilihat dari jumlah perolehan medali, terjadi peningkatkan luar biasa, Tetapi publik kita selalu melihat dari peringkat. Peringkat Sulsel kali ini merosot dan terpuruk sepanjang PON yang diikuti Sulsel. Hingga PON XX, Sulsel paling jelek di peringkat XII. Kini, 2024, berada di peringkat XVI. Salah satu penyebabnya adalah, terjadi persebaran jumlah medali pada banyak kontingen. Jawa Barat yang tiga kali juara umum, saat ini merebut medali emas 195 emas, pada PON XIX/2016, selaku tuan rumah kontingen ini mengantongi lebih dari 217 keping emas, sehingga ada konsentrasi jumlah medali emas pada sejumlah kecil kontingen (Jawa Timur 132 emas dan DKI 132 emas).
Di Aceh-Sumut justru tidak. Sampai pada peringkat XI yang ditempati Sulsel saat PON XX Papua dengan 11 emas, kini kontingen yang mengantongi 21 medali emas (dua kontingen hanya beda perak di peringkat XI dan XII), 19 emas (peringkat XIII). Di Papua, peringkat I Jawa Barat hanya 133 emas, DKI di peringkat II dengan 110 emas. Peringkat XI dan XII yang ditempat Sulsel dan Aceh, sama-sama mengantongi jumlah emas, hanya beda jumlah medali perak, Sulsel 13, Aceh 7.
Kendala lain yang saya nilai kurang diperhitungkan adalah persoalan anggaran sebagaimana yang kemudian diakui sendiri oleh Yasir Mahmud. Praktik manajemen dana hibah pada periode pemerintahan yang baru berakhir ini, masih tetap berlaku saat Sulsel mengikuti PON XXI. Sehingga, penggelontoran dana untuk KONI Sulsel tidak akan ‘baik-baik’ saja dan inilah yang berdampak pada atlet. Bayangkan saja, sebuah perhelatan olahraga prestasi tingkat nasional para atlet tidak melakukan ‘try out’ dan uji tanding, pelaksanaan pemusatan latihan yang kurang memadai, pengadaan dan pengiriman alat, dan ketiadaan sarana dan prasana latihan yang terbatas.
Saya memahami bahwa seumur-umur kehadirannya sebagai provinsi, periode inilah Sulsel mengalami defisit anggaran dan berhutang. Jadi kita tidak heran kalau itu berimbas pada anggaran untuk KONI Sulsel.
Kita tidak perlu meratapi prestasi ini. Intinya, KONI Sulsel pada rapat anggota kelak harus mengevaluasi total kegagalan dan keberhasilan ini dari berbagai faktor dengan melibatkan pemerintah provinsi. Kita tidak bisa tidur nyenyak dan melupakan kegagalan tersebut. Nanti, pada PON XXII/2028, tuan rumah NTB yang berada di peringkat ke-14 (medali 17-17-21), dan NTT di peringkat ke-19 (medali 7-13-16) nanti pun akan menjadi ancaman bagi Sulawesi Selatan.
Saya khawatir ‘lagu’ Aceh-Sumut ini akan terulang lagi bagi Sulsel.
Merosotnya prestasi Sulsel (dari segi peringkat) menjadi bahan pemikiran bagi seluruh pihak, terutama masyarakat Sulawesi Selatan untuk — maaf — memilih figur yang pro-olahraga pada kontestasi pemilihan gubernur yang akan datang. Jangan pernah salah memilih. Lihatlah sarana dan prasarana olahraga yang mangkrak dan kini sudah menjadi hutan. Kita tidak ingin layaknya ‘keledai terantuk (terbentur) pada batu yang sama’ dalam hal pembangunan sarana olahraga ini. (*)