Selain itu, hakim tidak mendapatkan hak atas perlindungan, padahal hakim seringkali berhadapan dengan beragam kejadian yang membahayakan keamanan dan keselamatannya, bahkan sampai mengakibatkan hilangnya nyawa. Kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita pada 2001 lalu, pembunuhan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo di ruang sidang (2005), dan pemukulan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (2019) merupakan sebagian peristiwa yang menggambarkan betapa rentannya keselamatan dan keamanan hakim dalam pelaksanaan tugasnya.
Jaminan kesejahteraan dan keamanan bagi Hakim merupakan bagian dari syarat penting terciptanya independensi peradilan dan merupakan dukungan bagi Hakim dan pengadilan agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik, khusunya dalam mewujudkan peradilan yang adil dan bermartabat. Secara universal, prinsip dasar independensi peradilan adalah jaminan kesejahteraan.
Berdasarkan kondisi tersebut, kami menyatakan tuntutan sebagai berikut :
1. Meminta Negara dalam hal ini Pemerintah dan DPR-RI untuk melakukan pemenuhan hak hakim atas kesejahteraan dan perumahan dengan melakukan revisi terhadap PP No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim, Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc, Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2013, dan melakukan penyesuaian atas kondisi ekonomi faktual saat ini, serta mempertimbangkan besarnya tanggungjawab profesi hakim dan menyesuaikan dengan standart hidup yang layak. Revisi yang kami harapkan tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek atau saat ini saja, namun kami berharap Pemerintah melakukan penyesuaian secara berkala setiap tahunnya terhadap hak atas keuangan para hakim.
2. Mendorong Pemerintah dan DPR-RI untuk memberikan pemenuhan hak atas fasilitas yang layak bagi Hakim, utamanya hak atas perumahan, transportasi dan kesehatan. Terhadap hakim yang ditempatkan di daerah terluar, terpencil, dan di daerah kepulauan agar dapat diberikan tunjangan kemahalan, dan khusus terhadap Hakim Ad Hoc agar dapat diberikan tunjangan pajak (PPH 21) dan tunjangan purna tugas.
3. Mendorong Negara dalam hal ini Pemerintah untuk memberikan jaminan keamanan bagi Hakim dalam pelaksanaan tugasnya yang sudah diatur dalam peraturan perundang- undangan. Selain itu, juga mendorong Pemerintah dan DPR-RI untuk membahas dan mengesahkan RUU Contempt of Court yang memberikan perlindungan bagi kehormatan pengadilan.
4. Mendorong Negara dalam hal ini Pemerintah dan DPR-RI untuk pengesahan RUU Jabatan Hakim. Beberapa peraturan perundang-undangan pada fungsi yudikatif telah menempatkan hakim sebagai pejabat negara. Baik Hakim karir maupun Hakim Ad Hoc secara bersama-sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, oleh karena itu baik Hakim Karir maupun Hakim Ad Hoc sebagai pelaksana fungsi yudisial harus ditetapkan sebagai pejabat negara.
Urai Johnnicol lagi, kami pun s bagaimana Hakim berjanji untuk :
1. Menjaga integritas, kemandirian, kejujuran.
2. Memberikan pelayanan yang profesionalitas kepada masyarakat pencari keadilan.
3. Memberikan pelayanan yang akan akuntabel, responsive dan keterbukaan.
4. Memberikan Pelayanan yang tidak berpihak dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Sebanyak 48 Hakim Karir dan Hakim Ad Hoc PN Makassar yang tergabung dalam Forum Solidaritas Hakim Indonesia, melakukan penandatanganan pernyataan sikap,” pungkasnya.(Hdr)