Seperti yang saya saksikan pada sore hari sebelum KM Leuser benar-benar berangkat, pemasokan air terhenti benar-benar pada masa “injury time”, pukul 15.58 Wita, dua menit sebelum kapal benar-benar melepas tali temali yang tertambat di dermaga. Dengan keterbatasan waktu pengirisian ini saya mendengar bahwa air yang terisi adalah 105 m3, atau mungkin ada takaran lain seperti kata ton. Entahlah. Jadi pemasokan air terhenti karena saat keberangkatan kapal sudah sangat mendekat.
KM Leuser benar-benar meninggalkan Pelabuhan Makassar pada pukul 16.00 Wita. Delapan belas jam berikutnya (pukul 10.00 Wita 19 Oktober 2024) akan merapat di Labuan Bajo. Setelah transit 1-2 jam, kapal melanjutkan pelayaran ke Pelabuhan Bima yang biasa ditempuh selama 7-8 jam. Jadi kapal merapat di Pelabuhan Bima pada pukul 20.00 atau 21.00 Wita Sabtu malam. Ternyata lama waktu 18 jam tidak terpenuhi, Ditambah lagi satu jam, hingga jarak Makassar-Labuan Bajo yang biasanya ditempuh kapal Pelni 18 jam, molor satu jam.
Ketika akan mengangkat barang-barang bawaan dari tempat pengambilan tiket dan menjangkau jarak sekitar 100 m di bagian atas jembatan yang menghubungkan Gedung tempat calon penumpang kuitansi pembelian tiket dengan tiket asli, tiba-tiba seorang anak muda menegur dan menyebut ‘Aji’. Rupanya, dia sepupu dua kali anak saya, Ibunya, sepupu sekali saya. Dia salah seorang anaknya. Neneknya, Fatmah, kakak ayah saya. Paman anak muda itu, Muhammad Natsir yang juga sepupu sekali saya, duduk di kelas yang sama dengan saya ketika di sekolah dasar. Setiap dia ke kampung saya, Kanca, mendampingi kedua orang tuanya menziarahi kekek-nenek kami,
Muhammad Natsir selalu “diadu” dengan saya. Diadu bukan disuruh berkelahi, melainkan berkaitan dengan cerdas cermat. Biasanya, soal yang ditanyakan itu mengenai berhitung dan ilmu pengetahuan umum. Saya sudah lupa siapa yang jago.
Ponakan itu rupanya bekerja di Pulau Kei, Tual. Saya pun memberi tahu, Oktober 2023 saya dengan Dr. Hamdan Zoelva, SH, MH. pernah ke Tual untuk melantik Pimpinan Cabang Syarikat Islam (SI) di Kota Tual. “Kami menginap dua malam di sana,” kata saya.
Dia pun menjelaskan, memperoleh informasi itu terlambat dari salah seorang tokoh Syarikat Islam di Tual tentang kedatangan kami waktu itu yang juga disertai oleh penyanyi religi Soesilawaty dan suaminya Bang Jun. Dia mengetahui kehadiran kami setelah meninggalkan Tual. Dari dialah saya mengetahui tentang situasi kapal. Fasilitas kapal ini sudah sangat berkurang. Di dek 3, pendingin ruangannya tidak berfungsi. Suasananya panas.
“Tapi saya dapat di dek 4,” kata saya.
“Sama juga, Om Aji,” katanya lagi.
“Untung saya selalu membawa kipas angin khusus,” saya pun menjelaskan.
Setelah tiba di atas kapal, benar juga yang disebutkan ponakan itu. Rombongan saya memperoleh tempat di bagian anjungan kapal. Pasti goyang karena merupakan bagian kapal yang lebih awal melabrak gelombang, jika ada angin kencang yang diikuti oleh rentetan ombak.
Saya pun memeriksa rongga yang biasa mengeluarkan angin dingin di plafon kapal. Tidak berfungsi. Penumpang laki-laki yang di dek 4 sebelah kanan sudah mulai tampil ‘koboi’, tidak pakai baju karena kepanasan. Ibu-ibu pun mengipas-ngipas tubuhnya dengan apa saja yang bisa membuat badannya adem. Anak-anak kecil menangis karena kepanasan.
Banyak juga penumpang yang datang memasang dirinya di pintu penghubung antara dek 4 dengan bagian dalam haluan kapal karena angin segar bertiup nyaman. Bahkan sampai pukul 22.00 saya melihat ada seorang ibu berdiri di dekat pintu penghubung ini. Dan agaknya untuk mengalirkan udara dingin, pintu ini dibuka.
Kebetulan pula tidak sedang hujan. Kalau hujan turun, pastilah pintu ini ditutup. Bisa-bisa air hujan akan membasahi penumpang.
Pada saat membaringkan badan, selintas saya mendengar bunyi cericit. “Ada suara hamzert,” kata saya memberi tahu adik Nurhayati yang duduk tidak jauh dari saya.
Kebetulan di rumah, cucu saya memelihara binatang kecil mirip tikus ini, tetapi tidak berekor. Ternyata benar ada tikus kecil yang berkeliaran di sekitar tempat tidur. Rupanya, dia lari turun naik dari dek atas ke dek di bawah. Bahkan anak saya, Haryadi (Hery) sempat memergoki seekor tikus kecil ini menyelinap di dekat kopernya yang sandar di dinding kapal. Saya kemudian mengambil senter dan mencoba melongok di bawah tempat tidur. Dia sudah lenyap. Atau mungkin juga sudah menyelinap entah di mana ?
Jumat (18/10/2024) malam setelah menulis di kantin kapal, saya menuju dek 4 untuk tidur. Namun upaya memejamkan mata terkendala oleh bunyi cericit tikus yang sangat mengganggu. Sabtu (19/10/2024) subuh, sekembali dari musala menunaikan salat, saya mencoba kembali berbaring. Ipar saya Mastur ternyata melihat seekor tikus lari turun naik di dinding. Saya bangun duduk dan sempat menyaksikan seekor tikus meluncur turun tidak jauh dari tempat saya duduk.
“Ternyata“ penumpang gelap” (tikus) benar-benar ada di KM Leuser,” saya menggumam.
Pagi hari, istri saya pun bertanya perihal tikus yang berkeliaran di dek 4. Dia mengakui benar ada. Kelihatannya tikus ini akan lama menjadi penumpang karena KM Leuser baru saja naik dok, saat kapal biasanya menjalani masa perbaikan, termasuk membersihkan barang-barang yang tidak diperlukan. Ya, termasuk “penumpang gelap” itu.
Pertanyaan yang muncul, bagaimana pula tikus bisa naik KM Leuser ? Ini pertanyaan yang perlu dijawab. Apakah modusnya sama dengan si kecoak tadi ? Atau naik melalui tali temali kapal saat sandar di beberapa pelabuhan ? Entahlah.
Fasilitas KM Leuser tampaknya semakin ‘lansia’ seiring dengan usianya yang juga mendekati ‘uzur’. Ini perlu mendapat perhatian. Para penumpang yang ada di dek sulit menemukan kenyamanan. Pantas saja banyak anak kecil yang rewel dan menangis, mereka gerah. Anak kecil yang menangis itu agaknya sedang memprotes pendingin ruangan yang tidak berfungsi. (*)