Catatan M.Dahlan Abubakar (Wartawan Senior)
Pengantar :
Selasa (28/10/2024), Sekretaris Tim Penanggulangan, Rehabilitasi Kerusakan Hutan dan Lingkungan Hidup Wilayah (PRKHLHW) Parado Abdillah M.Saleh, S.Pd mengajak saya mengunjungi lahan yang disebutnya sebagai contoh penghijauan kembali hutan gundul di wilayah Kecamatan Parado, bahkan di Kabupaten Bima dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Keesokan hari, Rabu (29/10/2024), saya menerima surat undangan resmi dari tim guna mengunjungi lahan tersebut keesokan hari, 30 Oktober 2024. Luas lahan percontohan 300 ha ini belum seberapa jika dibandingkan 13.000 ha yang gundul di Kecamatan Parado, namun sebagai contoh sukses warga menghijaukan kembali hutan ‘plontos’, model reboisasi ini sangat pantas jadi ‘role model’ ke depan. Catatan perjalanan ini saya turunkan mulai dari ini.
***
Pukul 08.30 Wita, 30 Oktober 2024, sesuai jadwal di dalam surat undangan, sebuah mobil ‘ranger’ tentara berhenti di depan rumah orang tua di Desa Kanca, Kecamatan Parado. Saya sudah bersiap 30 menit sebelum jam H karena maklum rombongan menggunakan armada angkutan ‘perang’ menuju ke lokasi yang ada di atas hutan sana. Pastilah tentara itu disiplin, termasuk soal waktu. Berbeda dengan agenda-agenda instansi sipil di kecamatan ini, rata-rata menggunakan jam karet.
Di atas mobil berplat nomor 1608/07 yang dikemudikan Serma Rajulan sudah ada Komandan Rayon Militer (Dan Ramil) Monta Kapten Inf Ibrahim yang duduk di samping pengemudi. Pak Abdillah M.Saleh bersama salah seorang lainnya duduk di bagian belakang mobil pick-up yang bertenda. Saya dan ipar Mastur ikut bergabung di bagian belakang. Danpos Ramil Parado Serma Usman, SP, menunggang motor trail mengikut dari belakang. Menggunakan sepeda motor juga, ada Kepala Resor Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Parado, Suherman, S.Hut, alumni Institut Pertanian Malang (IPM).
Sekitar 300 m, jalan beraspal, mobil meluncur mulus. Seratus meter dari ujung aspal, mobil membelok ke kiri, tepat di dekat sungai kecil kering dan mulai mendaki. Mobil dengan daya dorong “4wheel drive” (empat roda) ini mulai menaklukkan pendakian jalan hutan berbatu cadas. Baru saja saja sekitar 100 m bergerak, mobil berhenti. Agaknya, sebuah tumpukan kayu yang ditutupi plastik warna hijau menghalangi jalan. Serma Usman SP pun dibantu beberapa anggota masyarakat menyingkirkan barikade ini agar mobil bisa melintas.
Di sekitar barikade itu terdapat tumpukan kayu jati yang ternyata tampaknya sengaja “disembunyikan”. Kayu ini dua hari kemudian, saya lihat termuat di atas sebuah truk melintas di depan rumah orang tua dan berbelok ke bagian atas desa sekitar 100 m dari tempat saya duduk. Boleh jadi, lantaran mengetahui anggota Dan Ramil sudah melihat tumpukan itu, buru-buru pemiliknya mengungsikan kayu-kayunya.
Kendaraan terus mendaki, menaklukkan medan jalan hutan berbatu. Di kiri kanan jalan hanya menawarkan hutan bekas ladang jagung. Tidak lama lagi lahan ini akan dibakar sebagai persiapan menanam jagung lagi. Dulu, lahan ini hutan lindung. Jarang dijamah orang, kecuali warga desa yang pergi mencari lebah madu dan berburu kijang secara tradisional menggunakan anjing atau perangkap.
Kini, hutan gundul di kecamatan, membuat banyak pihak yang peduli akan generasi menjadi galau dan gamang. Mereka membayangkan, bagaimana mungkin mewariskan generasi mendatang dengan lahan gundul yang tidak produktif dan mengharapkan bisnis jagung yang kerap tidak membuat petani sejahtera. Tim yang dikomandoi H.Lukman dan Abdillah M.Saleh, termasuk salah satu komunitas yang tidak pernah lelah mengadvokasi masyakat melaksanakan reboisasi hutan yang sudah gundul tersebut.
Sebanyak 13.000 ha gundul
Sejak tahun 2016, hutan di Kabupaten Bima mengalami penggundulan masif. Pemandangan yang miris, gunung gundul terbentang di mana-mana. Penggundulan hutan ini mengakibatkan terjadinya banjir, termasuk banjir bandang yang melanda Bima Desember 2016. Di Kecamatan Parado, hutan yang sudah ratusan tahun tidak terusik, tiba-tiba saja botak. Yang tampak adalah batu-batu yang bagaikan ‘bisul’ yang tersisa.
Di Provinsi NTB luas kawasan hutan 400.000 ha, 190.000 ha kawasan itu yang ditanami jagung. Laju kerusakan hutan di NTB 60% dari total kawasan hutan seluas 1.071.722 ha (Data Dirut Walhi NTB Amry Nuryasin) disebabkan aktivitas pertambangan, perambahan hutan dan alih fungsi lahan untuk pembangunan pariwisata.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) NTB mengungkapkan lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan pada tahun 2018 seluas 578.645, 97 ha (29%) dari luas wilayah. Lahan kritis terluas ada di Bima, 161.120,5 ha. Pada tahun 2018 luas perambahan hutan 131.990,97 ha.
Pada tahun 2020 di NTB terdapat lahan sangat kritis 23.218,61 ha, lahan kritis 154.530,31 ha, lahan agak kritis 400.730,46 ha, dan lahan berpotensi kritis 1.275.700,48 ha. Hutan yang dirambah masyarakat untuk menanam jagung di Kabupaten Bima 15.790 ha, Kota Bima 1.093 ha, dan Kabupaten Dompu 16.690 ha.
Secara khusus di Kabupaten Bima dan Dompu 202,000 ha kawasan hutan, 58.000 ha di antaranya jadi lahan jagung. Khusus di Kecamatan Parado memiliki kawasan hutan 18.000 ha, seluas 13.000 ha jadi lahan pertanaman jagung. Tinggal 5.000 ha yang utuh. Data ini pun dibenarkan Abdillah M.Saleh, Sekretaris Tim Penanggulangan Rehabilitasi Kerusakan Hutan dan Lingkungan Hidup Wilayah Kecamatan Parado Kabupaten Bima kepada saya 30 Oktober 2024 saat berkunjung ke Madanangga.
Dia mengkhawatirkan, jika tidak ada upaya menanam kembali hutan yang plontos itu dengan tanaman produktif, boleh jadi generasi ke depan akan menjadi miskin. Luasnya hutan yang dibabat itu mengakibatkan, iklim dan suhu di Kecamatan Parado yang selama ini terkenal dingin sejuk, kini sudah panas. (Bersambung)