KITA selalu mengenang Abdurrahman Wahid sebagai sosok pluralistik. Dia sangat berjasa bagi kehidupan dan keragaman keberagamaan kita di Indonesia. Selain sebagai Presiden Republik Indonesia, Gus Dur -- begitu akrab disapa -- selalu diingat karena kadar humornya yang luar biasa dan ucapannya kerap sulit ditebak.
Kisah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur lebih banyak dikenal publik karena omongannya yang terkadang ‘nyeleneh’ (aneh, lucu, dan konyol). Orang akan selalu terkenang dengan ucapan Gus Dur, ‘kok gitu aja repot’, yang diungkapkannya jika ada sesuatu yang dianggap penuh kontoriversial dan wartawan meminta pendapatnya.
Kisah Gus saat belajar di Universitas Al Azhar Kairo, mungkin tidak banyak orang tahu. Cerita Gus Dur itu tertuang dalam buku yang ditulis Greg Barton berjudul “Biografi Gus Dur” yang diterbitkan LKIS Yogyakarta pada tahun 2002 dan hingga 2004 sudah mengalami cetak ulang selama empat kali. Buku yang ditulis oleh Dosen Senior pada Fakultas Seni Deakin University Geelong Victoria, Australia itu judul aslinya “The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid” dengan tebal 516 halaman dalam versi bahasa Indonesia.
Buku ini ternyata sudah dua dasawarsa menghuni perpustakaan pribadi saya. Saya terpicu kembali membacanya karena melihat di media sosial ada akun yang menawarkan buku itu lagi. Saya berpikir buku biografi Gus Dur itu terbitan baru dan ditulis oleh pengarang atau penulis lain. Namun setelah saya membaca nama Greg Barton, saya pun yakin yang ada di perpustakaan saya itu sama dengan yang ditawarkan di media sosial tersebut.
Gus Dur tiba di Kairo pada pertengahan tahun 1964. Dia sangat bersemangat belajar di universitas tertua di dunia itu. Kaum intelektual dunia sangat maklum, Al Azhar adalah universitas tertua dibandingkan Oxford dan Cambridge Inggris, Sorbonne Prancis, dan beberapa universitas lainnya di Eropa. Al Azhar merupakan pusat dari sejumlah ide yang sangat modern dari dunia Islam. Di bawah Muhammad Abduh, salah seorang yang dikenal sebagai perintis gerakan modernisme Islam diperkenalkan di Indonesia oleh mereka yang pernah belajar di Al Azhar. Banyak kaum cendekiawan Islam yang terbaik di Indonesia berasal dari beberapa generasi mahasiswa Indonesia yang pernah belajar di universitas ini.
Meskipun pada awalnya Gus Dur sangat bersemangat memperoleh kesempatan belajar di Al Azhar, namun di belakang hari dia kecewa. Pasalnya, saat tiba di universitas ini, para pejabat universitas mengharuskan dia mengikuti kelas khusus untuk memperbaiki pengetahuan mengenai Bahasa Arab. Padahal, dari studinya di Jombang tahun 1960, pesantren yang didirikan ayahnya, Wahid Hasyim, ia telah memiliki sertifikat yang merupakan bukti sudah lulus studi yurisprudensi Islam teologi, dan pokok-pokok pelajaran terkait yang kesemuannya memerlukan pengetahuan Bahasa Arab yang sangat baik.
Hanya saja, Gus Dur tidak memiliki ijazah yang menunjukkan ia sudah lulus dasar-dasar bahasa Arab. Akibatnya, Gus Dur dimasukkan ke kelompok mahasiswa di kelas yang benar-benar pemula. Banyak mahasiswa yang baru tiba dari Afrika dan hampir sama sekali tidak tahu abjad Bahasa Arab, apalagi menggunakan bahasa ini dalam percakapan. Mengetahui hal ini, Gus tidak mengikuti kelas tersebut.
Gus Dur ingat, sepanjang tahun 1964, dia hampir tidak masuk kelas pemula itu. Itu artinya, tidak melakukan studi formal. Dia justru mengisi waktunya dengan mengikuti pertandingan sepakbola yang banyak terdapat di Kairo. Juga membaca di perpustakaan-perpustakaan yang besar, menonton film-film Prancis. Ikut serta dalam diskusi-diskusi di kedai-kedai kopi yang sangat menarik.
Ketika tiba di Kairo, Gus Dur berusia dua puluh lima tahunan. Dalam usia seperti itu, dia merasa bebas. Soalnya, ketika remaja di Yogyakarta, kehidupannya relatif bebas, tetapi sebagai putra tertua almarhum kiai besar Wahid Hasyim, setiap gerak geriknya diamati. Termasuk kunjungannya ke bioskop secara diam-diam.
Sebagai seorang siswa pesantren di Magelang dan Jombang, Gus Dur merasakan adanya batasan sosial yang bahkan lebih ketat. Meskipun kemudian Al Azhar cukup mengecewakan dirinya, secara aneh tempat itu merupakan pengalaman yang membebaskannya. Soalnya, ia dapat memperoleh kebebasan menghabiskan waktunya dengan caranya sendiri.
“Ia tidak dihalangi oleh jadwal yang ketat oleh orang-orang yang mengawasinya di kota-kota kecil di Jawa,” tulis Greg Barton (2002:85).
Kesenangannya menonton film terbaik Prancis di Kairo membuat dia sabar menunggu film-film itu diedarkan dari Eropa, Inggris, dan Amerika. Ia juga banyak menghabiskan waktunya di Perpustakaan Amerika di Kairo, perpustakaan terbesar yang pernah dilihatnya saat itu. Kendatipun Gus Dur besar di rumah yang penuh buku, keluarga, dan teman-temannya, memungkinkan dia membaca lebih banyak buku daripada kebanyakan teman-teman sebayanya. Kerap dia bekerja keras untuk mendapatkan buku-buku yang ingin dibacanya.
Kairo adalah dunia yang berbeda bagi Gus Dur. Perpustakaan-perpustakaan di sini, penuh dengan buku. Jauh lebih banyak dari yang pernah dilihatnya sebelum dia ke kota di pinggir Sungai Nil itu. Boleh dikatakan, Gus Dur adalah seorang maniak membaca. Dia bisa mengelilingi berbagai perpustakaan untuk memenuhi minat bacanya yang tinggi. Aktivitas membacanya tidak kenal tempat. Tidak saja di perpustakaan-perpustakaan, tetapi juga di sekeliling rumah dan di tempat menunggu bus. Yang aneh, jika tidak ada buku, potongan surat kabar atau majalah pun bisa jadi alat untuk pemuas dahaganya akan bacaan.
Ia bisa membaca dengan cepat. Bahkan ketika masih belajar di Pesantren di Jawa, dia masih bisa menyisihkan waktunya membaca. Di Kairo dengan kebebasan yang direnggutnya dan jadwalnya yang tidak padat hasil dari caranya yang nakal dalam menghadapi kelas-kelas yang seharusnya dia ikuti, Gus Dur bisa melahap sejumlah buku yang diinginkannya. Di Kairo, ia membaca hampir seluruh karya William Faulkner, seorang penulis Amerika Serikat dari Mississippi yang pernah memenangkan Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1949. Mungkin juga Gus Dur tertarik keeksotikan peraih Nobel kelahiran 25 September 1897 dan berpulang 6 Juli 1962 itu.
Gus Dur juga membaca karya Ernest Hemingway, penulis cerita pendek dan wartawan yang terkenal dengan gaya penulisannya yang minimalisme. Ketika masih di Jawa, Gus Dur mengembangkan cintanya pada puisi Arab, meskipun ia lebih suka sastra Eropa, terutama prosa. Ia juga membaca prosa dan puisi Edgar Allan Poe. Penyair, penulis, cerpenis, penyunting, dan kritikus sastra ini diukai Gus Dur mungkin karena puisi dan cerita pendeknya, terutama kisah-kisah misteri ‘macabre’ (mengerikan)-nya. Poe juga dianggap sebagai perintis fiksi detektif Amerika.
Gus Dur malah menghapal sebagian terbesar puisi karya Donne berjudul “No Man is An Island”. Ia juga membaca karya-karya Andre Gide dan Kafka, dan juga karya Tolstoy yang sebelumnya tidak bisa diperolehnya. Juga karya-karya Pushkin serta novelis-novelis Eropa lainnya yang mulai dibacanya ketika masih di Jawa. Ia juga memboyong buku-bukunya dari Indonesia ke Kairo. Di antaranya karya Karl Marx dan Lenin yang dibacanya ulang dan kemudian didiskusikannya dengan sesama mahasiswa kaum cendekiawan di kedai-kedai kopi di Kairo, kota yang sibuk dengan kehidupan sastra, pencarian pengetahuan dan ide-ide baru.
Meskipun Gus Dur tidak belajar di perguruan tinggi Eropa sebagaimana yang juga diinginkannya, tetapi selama di Kairo ia berkenalan dengan pemikiran Eropa. Ia mampu bertukar pikiran dalam lingkup yang mungkin tidak dapat dilakukannya di Indonesia.
Gua Dur termasuk seorang yang maniak sepakbola. Tidak hanya bermain bola, tetapi dia juga terus mempelajari, menganalisis, dan membedah permainan serta kekuatan dan kelemahan tim-tim sepakbola dan strategi mereka. Ia merupakan penggemar sepakbola yang benar-benar tertarik pada strategi permainan olahraga paling digemari manusia sejagat itu. Di Mesir yang rakyatnya gila sepakbola, dia bisa memuaskan kegemarannya menonton dan mengikuti pertandingan sepakbola. Gus Dur mengakui, bisa mengikuti pertandingan-pertandingan liga Eropa dan pertandingan-pertandingan regional lainnya lewat liputan surat kabar dan radio. Maka, beberapa tahun silam, saat pertandingan sepakbola dunia, Gus Dur pernah menjadi kolomnis khusus Harian ‘Kompas’ khusus analisis pertandingan-pertandingan kelas dunia itu. (M.Dahlan Abubakar)