Ia juga mempertanyakan honor operator sebesar Rp1,5 juta yang dianggap tidak sesuai. “Pak desa bilang gaji operator memang segitu, karena saya tidak tiap hari masuk kantor,” ujarnya.
Kepala desa juga menyarankan Jum untuk hanya datang ke kantor jika ada pekerjaan dari Dinas Sosial, seperti pendataan. Namun, Jum mengaku selama Januari hingga Maret 2024, ia selalu hadir di kantor tanpa absen.
Ketegangan memuncak ketika tugas Jum digeser sepenuhnya menjadi operator, yang menurutnya merugikan. “Honor operator itu Rp1,5 juta, sedangkan staf desa Rp2,4 juta. Saya protes karena honor saya otomatis turun. Ini sangat tidak adil,” tambahnya.
Pada penggajian berikutnya, Kepala Desa memberikan honor Rp2,4 juta, namun honor operator sebesar Rp1,5 juta tidak diberikan. Kondisi ini semakin memperburuk hubungan antara Jumrawati dan Kepala Desa.
Kasus ini menjadi cerminan konflik yang kerap terjadi di pemerintahan desa, khususnya dalam pengelolaan sumber daya manusia dan transparansi keuangan. Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan lebih lanjut dari pihak pemerintah desa terkait langkah penyelesaian masalah tersebut.
Selain itu, pada 9 Desember 2024 lalu sekitar pukul 11.17 WITA, salah satu perangkat Desa Sawakung Beba yang menjabat sebagai bendahara bernama Wahyuni, menghubungi Jumrawati dengan mengirimkan foto selembar kertas yang disebut sebagai surat Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ).
“Wahyuni bilang ini cuma surat LPJ, tapi saya curiga dia ingin memalsukan tanda tangan saya,” ungkap Jumrawati.
Merasa tak terima, Jum langsung bereaksi tegas. “Saya nyolot dan bilang akan menuntut jika tanda tangan saya benar-benar dipalsukan. Saya punya bukti untuk itu,” tegasnya.(Hdr)