Dalam pandangan filsafat, Jean-Jacques Rousseau menekankan bahwa institusi publik, termasuk lembaga pendidikan, harus menjamin keadilan bagi semua individu tanpa pandang bulu. Toleransi, bagi Rousseau, adalah kunci untuk menciptakan keharmonisan sosial. Jika institusi gagal menjamin hak kelompok minoritas untuk merayakan hari besar agamanya, maka prinsip keadilan tersebut telah dilanggar.
John Rawls, melalui konsep justice as fairness, juga menegaskan bahwa kebijakan harus melindungi hak-hak kelompok minoritas agar mereka tidak dirugikan oleh dominasi mayoritas. Dalam konteks ini, kebijakan kampus yang tidak memberikan perhatian pada kebutuhan mahasiswa dari kelompok agama tertentu menunjukkan adanya ketimpangan dalam keadilan sosial.
Ki Hadjar Dewantara turut menegaskan bahwa pendidikan tidak sekadar transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter yang menghargai keberagaman. Sebagai institusi pendidikan, kampus seharusnya menjadi model dalam mengimplementasikan toleransi, termasuk melalui kebijakan yang inklusif terhadap hari-hari besar agama.
Ketidakjelasan kebijakan kampus terkait libur Natal ini menunjukkan celah besar dalam praktik toleransi. Jika toleransi ingin benar-benar menjadi nilai yang hidup, kampus perlu mengambil langkah konkret, seperti menyusun kalender akademik yang mengakomodasi hari besar keagamaan semua kelompok. Dengan demikian, kampus dapat menjadi ruang yang adil, ramah, dan mendukung bagi seluruh mahasiswa tanpa memandang perbedaan agama atau keyakinan. (*)