Apa yang saya ceritakan ini, baru terungkap begitu saya bertemu dengan Sa’diah Lanre Said di acara Temu Budaya Akhir Tahun 2024, di Gedung Mulo, Jalan Jenderal Sudirman Makassar, Sabtu, 28 Desember 2024. Kegiatan bertema “Budaya Religius, Budaya Maritim — Refleksi Budaya Sulsel 2024” ini dihelat oleh Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (LAPAKKSS).
Sa’diah merupakan salah seorang penampil pada sesi pertunjukan seni. Dia tampil setelah teaterikalisasi sanja Mangkasara “Inakke Pasombala” oleh Sanggar Seni Bija Tutidung dan tarian dengan koreografer Andi Abubakar Hamid. Setelah Sa’diah, tampil Komunitas Lagoa pimpinan Bahar Merdhu dengan La Coki.
Sa’diah membacakan cerpen religius karyanya, berjudul “Cenning Rarana Mariatang”. Begitu namanya dipanggil oleh Dr Rahma M, M.Sn yang malam itu jadi MC, Armin Mustamin Toputiri spontan berkomentar, “Nah, ini menarik karena tidak mudah membaca cerpen.”
Saya menyimak Sa’diah kala membaca cerpennya itu. Pada penggalan kalimat yang menggunakan bahasa Bugis, dia mendapat tepuk tangan penonton. Saya yakin petikan kalimatnya pasti punya pesan kuat, sehingga mendapat aplaus penonton.
Saya sendiri tidak memahami bahasa Bugis yang disampaikannya. Namun, saya menangkap ada isu gender dalam kisah “Cenning Rarana Mariatang” yang malam itu dibawakannya cukup menarik.
Selepas pertunjukan masih ada diskusi dengan tiga pembicara andal: Dr Halilintar Latief, Dr Nurlina Syahrir, keduanya akademisi UNM), dan Andi Mahrus, seorang kritikus sastra. Mereka mengupas pertunjukan yang baru selesai ditampilkan.
Prosesi terakhir dari rangkaian hajatan Temu Budaya ini adalah penutupan. Sebelum menutup kegiatan yang berlangsung sejak pagi hingga pukul 22 30 wita itu, Dr H Ajiep Padindang, SE, MM, yang merupakan Ketua Dewan Pembina LAPAKKSS, ikut mereview pertunjukan.
Mantan senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI itu banyak mengulas tentang Sa’diah, yang disebutnya anak dari Anregurutta Lanre Said atau KH Lanre Said, pendiri Pondok Pesantren Darul Huffadh Tuju-Tuju, di Kajuara, Kabupaten Bone.
“Sa’diah ini terbilang masih punya hubungan keluarga dengan saya. Ternyata dia penulis dan sastrawan. Meski dia pengasuh pondok pesantren, tapi hobinya mendaki gunung,” terang Ajiep Padindang.
Seketika saya teringat buku “Kenapa Allah Ngga Kelihatan, Ma?” Lantas saya bergeser dari tempat saya semula. Perlahan saya mendekat ke depan. Begitu selesai penyerahan piagam penghargaan kepada para penampil dan pembicara, saya pun menyapa Sa’diah.
“Saya kira kita sudah lupa. Tadi pagi saya mau sapa ki, tapi saya ragu, jangan-,jangan kita lupa tentang buku saya,” kata Sa’diah di awal obrolan kami.
Saya bilang, nda mungkinlah dilupa. Karena bukunya punya cerita tersendiri. Saya katakan, bahkan dalam banyak kesempatan, bukunya itu saya jadikan contoh, bagaimana seorang ibu menuliskan kisah sehari-hari yang merupakan pengalamannya bersama anaknya.
Malam itu, Sa’diah ditemani anak keduanya, Fiyyaz Muhammad Said, dan seorang santrinya. Kami ngobrol layaknya sahabat lama. Kami banyak bertukar pengalaman seputar kepenulisan. Kepada saya disampaikan bahwa dia akan menulis buku dengan tema yang unik, berdasarkan pengalamannya. (*)