Selamat Datang Para Penghafal-Kritis

Bagikan:

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Oleh : Mas’ud Muhammadiah (Dosen Universitas Bosowa)

BELAJAR menghafal tanpa berpikir kritis, ibarat burung dalam sangkar emas. Pendidikan sejati bukan sekadar praktis, tapi membuka pikiran agar berkembang bebas.

Setelah terbentuknya Kabinet Merah Putih 2024, perdebatan tentang metode evaluasi dalam pendidikan kembali mencuat di Indonesia, terutama terkait kemungkinan penerapan kembali Ujian Nasional (UN). Ini membangkitkan diskusi mendalam tentang tujuan sejati pendidikan dan cara terbaik untuk mengukur keberhasilan siswa.

Di satu sisi, ada pandangan bahwa ujian standar seperti UN dapat memberikan tolok ukur nasional yang diperlukan untuk menilai kualitas pendidikan (pemikir abad 19-20) ; Alfred Binet dan Theodore Simon (Prancis), Restorasi Meiji (Jepang), Edward Thorndike (Amerika Serikat), Cyril Burt (Inggris).

Namun di sisi lain, banyak yang menguatirkan bahwa pendekatan semacam itu hanya akan menghasilkan lulusan yang mahir menghafal tanpa memiliki kemampuan berpikir kritis yang memadai untuk menghadapi tantangan dunia nyata : Pemikir abad 21 ; John Dewey (AS), Edward Glaser (AS), Robert Ennis (AS), Richard Paul (AS), Diane Halpern (AS), dam Peter Facione (AS).

Lulusan yang cenderung menghafal biasanya adalah produk dari sistem pendidikan yang lebih menekankan pada kemampuan mengingat informasi dan fakta. Mereka sering unggul dalam menghadapi tes standar dan memiliki basis pengetahuan yang luas. Namun, kelemahan utama mereka terletak pada kesulitan dalam menerapkan pengetahuan tersebut pada situasi baru atau masalah kompleks yang membutuhkan analisis mendalam. Hal ini sejalan dengan pemikiran Howard Gardner (2011), yang menekankan pentingnya mengembangkan berbagai jenis kecerdasan, bukan hanya yang berkaitan dengan hafalan.

Di sisi lain, lulusan dengan kemampuan berpikir kritis dihasilkan oleh sistem pendidikan yang mendorong siswa untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menyintesis informasi. Mereka tidak hanya menerima informasi begitu saja, tetapi mampu mempertanyakan dan mencari bukti untuk mendukung atau membantah suatu klaim.

Baca juga :  Kunjungi Markas DPC Panakukang, Pengurus DPD PSI Kota Makassar Bahas Agenda Kegiatan dan Perekrutan Anggota

Kelebihan utama mereka adalah kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap situasi baru dan kreativitas dalam pemecahan masalah. Namun, mereka mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai kesimpulan dan kadang dianggap “terlalu kritis” dalam beberapa situasi sosial.

Paulo Freire (1970), dalam pemikirannya tentang “pendidikan yang membebaskan,” menekankan pentingnya dialog dan refleksi kritis dalam proses pembelajaran. Ia berpendapat bahwa pendidikan sejati terjadi ketika guru dan murid bersama-sama mengeksplorasi dan memahami dunia, bukan sekadar transfer pengetahuan satu arah. Pandangan ini mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis sebagai bagian integral dari proses pendidikan.

Ketika kita mempertimbangkan dampak jangka panjang pada karir dan kehidupan, lulusan penghafal mungkin akan unggul dalam pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan faktual. Namun, mereka kesulitan dalam beradaptasi dengan perubahan cepat di dunia kerja atau dalam posisi kepemimpinan yang memerlukan pengambilan keputusan kompleks.

Sebaliknya, lulusan dengan kemampuan berpikir kritis cenderung lebih adaptif terhadap perubahan teknologi dan tuntutan pasar kerja. Mereka memiliki potensi lebih besar untuk menjadi inovatif dan kreatif dalam memecahkan masalah, khususnya di industri modern.

John Dewey (2018), dengan penekanannya pada pentingnya pengalaman dan refleksi dalam pembelajaran, memberikan wawasan berharga dalam konteks ini. Ia berpendapat bahwa pembelajaran sejati terjadi ketika kita merefleksikan pengalaman kita, bukan hanya mengalaminya.

Pandangan ini mendukung pendekatan pendidikan yang mendorong siswa untuk aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan merenungkan apa yang telah mereka pelajari, alih-alih sekadar menyerap informasi secara pasif.
Sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada hafalan dan ujian standar seperti UN berisiko menghasilkan lulusan yang kurang siap menghadapi tantangan dunia nyata.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Komisi I DPRD Pinrang Gelar RDP Soal Ternak Sapi yang Berkeliaran

PEDOMANRAKYAT, PINRANG - Polemik terkait ternak sapi yang berkeliaran dan merusak perkebunan warga di Desa Malimpung, Kecamatan Patampanua...

Tidak Ada Negara di Dalam Negara : NKRI Harga Mati !

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Beredarnya video dan informasi mengenai pelantikan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Konsulat Indonesia di wilayah...

Menag Matangkan Kurikulum Cinta dan Eco-Theology untuk Perkuat Kerukunan dan Kelestarian Alam

PEDOMANRAKYAT, JAKARTA – Kementerian Agama (Kemenag) terus mematangkan konsep “Kurikulum Cinta” dan “Eco-Theology” sebagai upaya strategis dalam membangun...

MK Tolak Gugatan Ombas – Marten, Bupati Baru Toraja Utara Siap Dilantik

PEDOMANRAKYAT, JAKARTA.- Gugatan Pasangan Ombas-Marten nomor urut 1 atas Pilkada 2024 berakhir setelah pembacaan amar putusan oleh MK,...