Waktu dan Tempat Dipersilakan, Bisakah?

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Catatan M.Dahlan Abubakar

Sabtu, 11 Januari 2025 untuk kesekian kalinya, saya menerima kiriman buku dari sahabat Willy F.Taneh, teman angkatan (1972) di Fakultas Sastra Unhas yang kini berdomisili di Surabaya. Pertemanan saya dengan dia, meskipun melintas ruang waktu setengah abad lebih, tidak pernah terputus. Hobi membaca menautkan silaturahim kami yang tak pernah putus.

Buku berwarna biru yang ditulis Iqbal Aji Daryono setebal 296 halaman ini sebenarnya boleh disebut buku lama, pertama terbit Cetakan I tahun 2019 dan cetakan II pada tahun 2023. Judul karya mantan redaktur bahasa di Majalah Mahasiswa “Balairung” Universitas Gadjah Mada ini memang menarik, “Berbahasa Indonesia dengan Logis dan gembira”, renungan dan candaan.

Sebanyak 77 judul di dalam buku ini merupakan bunga rampai karya penulis yang bertema kebahasaan. Sebagian kecil di antaranya pernah ditayangkan di stus web “BahasaKita.com”. Sebagian besar lagi belum. Penulis dalam pengantarnya mengakui, “saya lebih menaruh perhatian kepada persoalan logika alih-alih kepada ketertiban berbahasa sesuai standar ejaan. Juga karena saya tidak terlalu bersepakat dengan penulisan kata yang “benar” sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pihak penerbit pun mempersilakan saya menyunting sendiri semua tulisan di buku ini”.

Begitu membuka daftar isi, yang selalu memperoleh prioritas, mata saya terhenti pada judul nomor 4, ”Apakah si Waktu dan si Tempat Berkenan Dipersilakan?” (hlm 26). Judul ini merupakan contoh fenomena penggunaan bahasa Indonesia yang tidak tepat di dalam masyarakat, yang selalu saya “ceramahkan” di depan mahasiswa baru peserta mata kuliah “Bahasa Indonesia”.

“Kesalahan penggunaan kalimat ini sudah sangat permisif dan dari waktu ke waktu selalu terulang,” saya menegaskan kepada para mahasiswa dan terlihat mereka mengangguk-angguk.

Baca juga :  Bupati ASA Dedikasikan Diri Jadi Donatur Tetap di Ponpes Nurul Jabal

Saya memberi contoh. Pada saat seorang “master of ceremony” membawakan acara dan tiba pada kesempatan seseorang memberi sambutan, kita sering mendengar kalimat seperti ini:

“Acara berikutnya, sambutan Ketua ORW X, kepada bapak waktu dan tempat kami persilakan”.

Kalau menyelisik (dari kata ‘selisik’, menurut KBBI, bentuk tidak baku dari: telisik) kalimat ini, mungkinkah kita menyilakan waktu dan tempat. Di dalam KBBI sendiri tidak ada lema (kata atau frasa) “mempersilakan” dan “dipersilakan”. Yang ada “menyilakan” (bentuk aktif) dan “disilakan” (bentuk pasif).

Kata “sila” di dalam KBBI berkelas kata verba (kata kerja) dan bermakna “menyilakan”, Kata “menyilakan” sendiri bermakna “minta (menyuruh, mengajak, mengundang) dengan hormat supaya’.
Oleh sebab itu, kalimat yang baku jika merujuk pada contoh yang disebutkan itu adalah:

“Acara berikutnya, sambutan Ketua ORW X, kami menyilakan Bapak Dody naik ke mimbar (atau ke depan)”.

Menyimak analisis ini, tentu saja kalimat ‘waktu dan tempat kami persilakan’ menjadi rancu dan kacau. Bisakah kita menyuruh waktu dan tempat? Pembawa acara yang benar seharusnya menyilakan Ketua ORW X, bukan kepada “waktu dan tempat” yang tidak logis.

Kesalahan penggunaan kalimat seperti ini dapat kita dengar pada setiap acara selalu berulang dan tidak ada yang mengoreksinya karena mungkin tidak penting atau audiens mengerti dengan kalimat itu. Padahal, dalam hal ini bagaimana kita menggunakan bahasa itu berdasarkan logika, bukan sekadar dimengerti secara salah menurut tata bahasa.

Contoh kedua pada awal perkuliahan saya adalah penggunaan kata “merubah” yang banyak kita dengar ketika orang berwacana verbal (lisan). Kata ini digunakan karena pembicara ingin menggunakan sinonim lain, kata ‘mengganti’.

“Kata /merubah/ jika diurai berasal dari kata dasar dan memperoleh awalan apa?,” saya bertanya kepada para mahasiswa dengan pancingan untuk melahirkan pertanyaan berikut.

Baca juga :  Bupati Theofilus Buka Turnamen Bola Volly Dandim Cup I di Toraja Utara

“Berasal dari kata dasar /rubah/’ yang mendapat awalan /me/,” jawab mereka.
“Betul mendapat awalan /me/. Sekarang, apa makna kata /rubah/?,” saya balik bertanya dan mereka sejenak diam. Kelas hening. Mungkin mereka baru menyadari sudah merasa ada dan menemukan kesalahan.

“Sejenis serigala, Pak,” jawab salah seorang mahasiswa pria yang duduk di pojok belakang.

“Kalau ‘merubah’?,” kejar saya.
Kelas kembali hening. Mungkin mereka berusaha menemukan jawaban yang tepat. Atau boleh jadi baru menyadari kekeliruannya sering menggunakan kata ‘merubah’ dalam komunikasi sehari-hari.
Awalan /me/ memiliki fungsi utama: menunjukkan proses atau aktivitas: mencuci, menulis, memasak. Menunjukkan hasil atau hasilnya: memecahkan, membuka, menutup. Menunjukkan perubahan keadaan: membesar, mempercepat, memperlemah. Dalam hal penggunaan kata /merubah/ itu, kita dapat artikan sebagai mengindikasikan perubahan bentuk. Bentuk yang baku adalah dari /merubah/ adalah /mengubah/.

1
2TAMPILKAN SEMUA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Musprov Taekwondo Sulsel 2025 Digelar di Makassar, Segera Dibentuk Kepengurusan Baru

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Musyawarah Provinsi (Musprov) Taekwondo Indonesia Sulawesi Selatan dipastikan berlangsung pada 13–14 September 2025. Agenda empat...

Warkop 183 Satukan Rasa dan Ragam Profesi

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Menikmati kopi pagi hari di warung kopi (warkop) menjadi tren dan habit (kebiasaan, red) tersendiri...

Pahlawan-Pahlawan Kerajaan Bajeng Melawan Penjajah Belanda

Oleh : Drs. Abd. Kahar Pattola ( Raja Bajeng XIX ) PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Ada suatu ungkapan bahwa “Setiap Masa ada Pemimpinnya dan setiap...

Tiga Program Bantuan BP Taskin RI Digulirkan di Toraja Utara

PEDOMANRAKYAT, TORAJA UTARA - Upaya pengentasan kemiskinan di Kabupaten Toraja Utara mendapat dukungan langsung dari Badan Percepatan Pengentasan...