Sehingga, kita harus menyadari bahwa harus bertahan, apakah kita bisa bertahan dengan “branding” secara objektif ataukah kita larut dengan keinginan orang-orang lain.
Di sinilah saya melihat bahwa kita harus bijak. Mengapa kita harus bagus. Unhas ini sudah memiliki 200.000 alumni. Setiap tahun ada yang keluar menjadi alumni.
“Saudara-saudara juga bakal menjadi alumni. Kalau “branding”-nya Unhas jelek, yang ditonjolkan adalah Unhas suka berkelahi, Unhas suka coret-coret, Unhas suka demo, itu merupakan “branding” yang membuat kita jatuh tersungkur, walaupun prestasi kita yang lain segudang. Misalnya, kita nomor satu Pekan Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional (Pimnas) dan begitu cepat dibombardir dengan demo di FIB, dan menganggap rektor tidak mampu mengatasi masalah kecil di bawah. Dia tidak tahu bagaimana seorang rektor bisa mengambil trofi dari raksasa perguruan tinggi tangguh dengan jatah yang jauh lebih canggih. UGM saja bisa dibayangkan, kita kalahkan. Jadi kita terlalu dari mereka. Anggarannya saja mereka Rp 34 triliun, Unhas baru Rp 1,4 triliun. Namun itu bukan berarti kita tidak memiliki kekuatan,” beber JJ.
Ketika ingin meraih itu seharusnya kita “branding”. Karena ke depan para alumni kita itu bisa mengatakan kepada orang lain dengan bangga tanpa ada rasa canggung yang kompleks atau rendah diri.
Ketika JJ bekerja di Bank Dunia di Jakarta, ingin tahu apa perkembangan Unhas. Pada suatu saat dia bermain golf. Saat itu mau bertemu dengan Prof. Dr.dr.Idrus A.Paturusi, yang ketika itu menjabat Rektor Unhas. Ada juga seorang pensiunan jenderal tapi banyak perusahaannya. . Mengetahui kalau JJ dari Unhas, pensiunan jenderla itu pun memberi tahu kalau banyak alumni dari Unhas yang mendaftar di perusahaannya. Dia mengatakan akan menerima karyawan sekitar 80-an orang. Ternyata pada saat itu peserta dari Unhas itu dicoret karena pada saat itu muncul berita di berbagai media TV bahwa mahasiswa Unhas berkelahi antarfakultas. Ada satu imej orang Makassar itu jelek sekali, yakni demo. Alasannya, kita tidak mau anak Makassar ini merusak kekompakan “team work” di perusahaan kami.
Kalau kita ada di antara mereka itu (alumni yang ditolak tersebut), sakit tidak. Pasti sakit hati. Mereka itu sudah belajar dengan baik, namun jadi korban akibat orang yang bermasalah. Lebih salah lagi, karena teman-temannya juga “mem-blow up” informasi yang destruktif itu.
“Saya sedih waktu itu. Itu lama membekas di pikiran saya. Itulah sebabnya ketika menjadi rektor, salah satu yang saya impikan adalah mengubah karakter mahasiswa Unhas tidak seperti itu (yang suka tawuran). Alumni Unhas memiliki determinasi yang tinggi. Kita pantang menyerah, seperti moto orang Makassar ‘sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai’. Di situ ada karakter yang kuat. Ada karakter jujur dan berani yang selalu ada. Itu determinasi yang positif.
Pertanyaannya, bagaimana membuat alumni ini baik. Salah satu caranya adalah ‘branding’ universitasnya. Jangan lihat Unhas dari pimpinan dan semua pejabatnya. Ini bukan untuk diri rektor sendiri, “that enough for me” (sedikit pun bukan untuk saya). Berhenti sebagai rektor bukan hal yang tragis, namun saya ingin membuat yang terbaik membawa universitas ini paling tinggi. Mari kita perbaiki.
“Tidak banyak orang yang bisa memperbaiki. Saya sudah melanglangbuana ke sejumlah universitas yang ada di dunia ini dan “brand” itu terlalu penting. (mda).