Oleh : Bonifasius Rahayaan (Mahasiswa Universitas PGRI Kanjuruhan Malang)
PADA era globalisasi dan kompleksitas sosial saat ini, kampus multikultural menjadi arena dinamis bagi praktik demokrasi yang penuh tantangan. Universitas PGRI Kanjuruhan Malang (UNIKAMA) sebagai salah satu kampus multikultural di Indonesia menghadapi dilema serius dalam menjalankan sistem demokrasi mahasiswa.
Salah satu tantangan terbesar adalah minimnya minat mahasiswa untuk mencalonkan diri sebagai Presiden Mahasiswa (BEM) maupun dalam organisasi mahasiswa lainnya (Ormawa).
Fenomena ini telah menyebabkan selama kurang lebih tiga periode kepengurusan BEM hanya terjadi aklamasi tanpa adanya pemilihan langsung, meskipun pihak kampus telah menyediakan berbagai fasilitas yang mendukung partisipasi mahasiswa.
Ketidakpastian dalam demokrasi kampus UNIKAMA muncul dalam berbagai bentuk, seperti kebebasan berpendapat yang terjebak dalam batasan-batasan sensitifitas budaya, dominasi kelompok mayoritas yang menyisihkan suara minoritas, serta kurangnya ruang dialog yang inklusif.
Kampus yang seharusnya menjadi laboratorium demokrasi kerap menjadi medan konflik kepentingan di mana kebijakan institusional berhadapan dengan tuntutan mahasiswa untuk lebih diberdayakan.
Dalam hal ini, Bonifasius Rahayaan selaku Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan berpendapat bahwa lemahnya antusiasme mahasiswa UNIKAMA yang berpartisipasi dalam demokrasi kampus juga bisa disebabkan oleh kurangnya kesadaran akan pentingnya representasi dalam kepemimpinan mahasiswa.
Sikap apatis ini berakibat pada minimnya kompetisi sehat dalam pemilihan, yang seharusnya menjadi ajang belajar bagi mahasiswa dalam berdemokrasi.
Kurangnya sosialisasi, minimnya insentif bagi calon pemimpin mahasiswa, serta kurangnya motivasi untuk berorganisasi semakin memperdalam ketidakpastian demokrasi di kampus ini.