AWT yang menamatkan pendidikan di SD Pising, Soppeng (1976) – SMP Negeri Ta’juncu, Soppeng (1979), dan SMA Negeri 5 Makassar (1983) serta Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (1992), sebelum menjabat Direktur Penerbitan Pustaka Refleksi dan Arus Timur, sejak 2001 hingga kini, pernah berkarier sebagai wartawan ”Bina Baru”, Redaktur Pelaksana ”Berita Kota Makassar”, dan wartawan ”Media Bisnis”. Latar belakang pendidikan sarjana-nya dibekali pengalaman bertahun-tahun sebagai wartawan, AWT bulat meniti karier sebaga penulis sekaligus sebagai penerbit.
Kompas.com yang tayang 15 april 2011 melalui tulisan Maria S.Sinurat dan Nasrullah Nara menulis panjang tentang AWT hingga telah menarik perhatian pembaca media tanah air. Dia bercerita panjang tentang pergulatannya mulai membangun penerbitan Pustaka Refleksi 3 April 2001. Keberanian AWT ini dianggap tidak lazim karena menghadapi arus deras serbuan buku yang diterbitkan Pulau Jawa.
“Lewat penerbit buku Pustaka Refleksi, Andi Wanua Tangke mencoba ”melawan” sentralisasi konten buku pelajaran yang selama ini didominasi penerbit dari kota besar di Pulau Jawa,” kata AWT seperti ditulis Kompas.com yang kemudian menyebutkan kelahiran Pustaka Refleksi berawal dari keresahan akan minimnya bahan kepustakaan tentang kisah-kisah Sulawesi Selatan.
Buku-buku yang terbit umumnya dikemas terlalu ilmiah sehingga tak menarik minat anak muda. Dia berupaya mewujudkan terbitnya buku yang bertalian secara emosional dengan pembacanya melalui bahasa yang ringan.
Imbas mimpinya itu lahir dari rumah sederhana di gang sempit di Kota Makassar, Sulsel. Inilah ”markas intelektual” Wanua dan rekannya, Anwar Nasyaruddin (49, tahun 2011), untuk menekuni naskah yang siap diterbitkan. Dalam rentang waktu 10 tahun, penerbit itu telah menelurkan 369 judul buku. Terlepas dari lemahnya pengeditan dan kerancuan struktur bahasa Indonesia di sana sini, kehadiran buku-buku itu patut dimaknai sebagai upaya melestarikan cerita yang melegenda di masyarakat Sulsel.
AWT mengusung Pustaka Refleksi mencoba memanggungkan roh kearifan lokal Sulsel. Buku yang diterbitkan umumnya memuat nilai, mitos, dan tradisi yang melekat pada akar budaya empat suku di Sulsel. Sebutlah kisah tentang “silariang” (kawin lari) sebagai hal yang tabu atau “kasipalli” (tradisi kepercayaan nenek moyang) dan romantika Sawerigading serta We Tenriabeng (tokoh dalam epos I La Galigo).
Salah satu terbitan yang melejitkan nama Pustaka Refleksi adalah kisah tentang Qahar Muzakkar. Pejuang kelahiran Luwu, Sulsel, ini lebih dikenal sebagai pemberontak melalui gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Padahal, di beberapa daerah seperti Palopo, sosok Kahar dikultuskan sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno yang mengabaikan peran penting tentara luar Jawa dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI. Misteri kematian Kahar, yang tak secara gamblang diceritakan, terus menyisakan teka-teki. Celah ini digunakan AWT untuk menerbitkan kisah-kisah tentang Qahar, termasuk Misteri Qahar Muzakkar Masih Hidup, yang sudah dua kali dicetak.
Begitulah, melalui ritual salat jenazah seorang dosen Unhas, dua penulis bersua dan saya bisa sedikit merefleksikan perjalanan karier Andi Wanua Tangke sebagai seorang penulis dan penerbit buku yang masih langka.
“Kita sekarang umurnya sudah berapa?,” tiba saja AWT bertanya ketika kami sama-sama berdiri di pintu keluar masjid.
“Saya jalan 72 tahun secara biologis,” jawab saya.
“Itulah yang membuat kita tidak cepat pikun, karena otak terus bekerja,” sambungnya.
Saya tidak menyahut secara verbal, tetapi meng-iya-kan secara batin. Sama dengan AWT yang terus menulis dalam usianya yang akan menggapai usia 61 tahun pada 4 April nanti. Kami hampir tidak berhenti menulis setiap hari. AWT beberapa hari terakhir merilis kisah fiksinya “Tentara Gerilya”. Jika saya lihat tulisannya yang panjang tersebut bisa jadi, dia sudah mendekati bahwa kemampuan seorang penulis terkenal menggores kata per hari adalah 4.000 kata.
Berdasarkan penelitian, kebanyakan penulis hingga yang terkenalkan sekalipun menggunakan kata-kata di bawah 4.000 kata, termasuk kata-kata yang khas bagi seorang penulis dalam pemakaian bahasanya sehari-hari. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1976) memuat tidak kurang dari 23.000 kata dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus, 1993) memuat tidak kurang dari 71.000 kata pokok. Jika dalam pemakaian bahasa sehari-hari digunakan 3.000–4.000 kata, berarti sebagian besar kosakata dalam kamus tidak digunakan atau digunakan sesuai dengan situasi tertentu.
Hal itulah yang menyebabkan banyak kata yang terdapat dalam kamus, seperti: ‘semenjana’, (menengah, sedang), ‘senyampang’ (kebetulan, lagi), atau ‘terhablur’ (sudah menjadi hablur, benda keras yang bening), mungkin tidak dikenal oleh masyarakat umum. (M.Dahlan Abubakar).