RABU (5/2/2015) saya meninggalkaan rumah – tidak seperti biasanya – agak pagi. Lonceng sudah menunjuk pukul 08.15 Wita, saat saya mulai melewati Jl. Komunikasi II yang setiap hari berjejer beberapa mobil warga. Di samping rumah saya saja, setiap hari dengan setia terparkir mepet ke pagar tembok kediaman pemiliknya, mobil bus mini Suzuki. Parkir mobil di jalan di depan rumah saya itu harus seperti itu. Kalau tidak, mobil lain, terutama grab-car, tidak akan bisa melintasi ini.
Yang paling parah, jika ada kendaraan yang sopirnya mungkin kurang lihai melewatkan kendaraannya, yang jadi sasaran, “mercy” tua saya yang luka parah. Tidak mengherankan goresan panjang pada dinding luar mobil sebelah kanan penuh dengan ‘cakaran’ yang menyisakan garis putih panjang. Kalau garis-garis putih seperti ini tampak, itu tanda ada lagi kendaraan keparat yang menyenggol kendaraan saya pada malam hari.
Beruntung di media daring ada iklan yang menjual “tipeks” penghilang goresan-goresan putih seperti ini. Karena mobil saya warnanya hitam, saya tinggal pesan “tipeks” warna hitam. Setelah saya menutup goresan-goresan, hasilnya lumayan lenyap. Kalau dilihat dari jauh tidak kelihatan. Kalau diamati dari dekat baru kelihatan.
Rabu pagi itu, ada undangan menghadiri ujian promosi doktor seorang pejabat di Ditjen Peternakan Kementerian Pertanian Jakarta. Calon promovendus, orang Bima dan kebetulan satu almamater dengan saya di SMA Negeri (1) Bima. Jadi, hitung-hitung tidak nongkrong terus di rumah menunggu tiba saat mengajar semester genap 2024/2025 pada tanggal 17 Februari 2025, saya memilih menghadiri ujian promosi doktor tersebut. Selain bisa membuat berita untuk media daring, juga dapat bersilaturahim dengan warga Bima yang berkarier di ibu kota negara. Apalagi promotornya adalah Prof.Dr.Ir. Imam Mujahidin Fahmid, MTDev., yang sudah lama tidak bertemu dengan saya.
Di jajaran penguji promovendus drh.Maskun, M.Sc. – yang kini menjabat Direktur Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Peternakan terebut, terdapat seorang penguji yang baru meninggal Selasa (4/2/2025) malam. Namanya, Dr.Ir. Mahyuddin, M.Si. yang juga menjabat Wakil Dekan III Fakultas Pertanian Unhas. Selasa (4/2/2025) siang, kabarnya almarhum masih sempat menguji mahasiswanya di kampus.
Saat meninggalkan Kompleks Unhas Antang, di dekat Jl. Sastra 2 dan sisi kiri Jl.Budi Daya Raya, berjejer sejumlah mobil. Saya sempat bertanya-tanya mengapa banyak kendaraan terparkir masih pagi begini. Biasanya kalau ada warga yang meninggal dunia, selalu diumumkan melalui pelantang masjid bakda salat fardu. Mungkin meninggalnya lewat Tengah malam dan begitu banyak yang mengetahuinya, pengumuman berita duka itu tidak terdengar. Nanti di kampus baru maklum kalau almarhum tinggal satu kompleks dengan saya.
Setelah mengirim berita ke beberapa media daring, termasuk ke salah satu media daring di Bima, saya pun meluncur pulang. Kendaraan sudah padat di Jl. Budi Daya Raya. Tepat di depan Jl. Sastra 2, saya membuka kaca sebelah kanan pengemudi ternyata bertemu dengan seorang teman.
“E…Bawala…,” teriak rekan Ir. Muhammad Rusli, M.Rukka, MP, teman dosen Pembimbing KKN Mahasiswa Unhas di Pulau Miangas, Sulawesi Utara tahun 2013. Bawala adalah nama pendeta pemilik rumah, tempat kami menginap beberapa hari selama di Pulau Miangas yang berjarak 40 mil dari Filipina itu, sebelum kembali ke Makassar melalui Tahuna dan Manado.
Saya pun bergegas menyimpan kendaraan di depan rumah untuk selanjutnya ke Masjid Amirul Mukminin, tempat jenazah Dr.Ir. Mahyuddin, M.Si. akan disalatkan. Saat melintas di depan masjid, di sisi kiri jalan, tampak mobil Alphard Hitam DD 10 plat merah terparkir. Itu berarti, penunggangnya, Prof.Dr.Ir. Jamaluddin Jompa (JJ) hadir dalam acara salat jenazah tersebut.
Setelah menyambar topi dan sajadah mini yang biasa dibawa saat mengikuti salat lima waktu berjamaah di masjid, saya pun bergegas ke rumah ibadah yang menyontek nama Prof. Amiruddin tersebut. Saat saya masuk, jenazah sudah ada di bagian belakang saf jamaah laki-laki, di dekat tirai pembatas jamaah perempuan.
Usai salat tahiyatul masjid, saya berdiri, tiba-tiba seorang pria dengan tubuh jangkung berkacamata menyalami saya.
“Saya sama-sama ke Tanah Suci tahun kemarin,” kata pria tersebut, sementara otak saya terus berpikir siapa gerangan nama laki-laki yang baru saya temui itu. Otak lansia ini – yang lebih mudah mengingat yang puluhan tahun silam ketimbang yang belasan tahun terakhir – terus bekerja menjawab pertanyaan dalam diri sendiri. “Siapa gerangan teman ini???’’
Usai salat jenazah, saya segera ke depan pintu masuk masjid. Berharap dapat memegang keranda jenazah saat diangkut ke mobil ambulans Unhas yang sudah menunggu. Saya tetap berdiri di depan tangga masuk masjid setelah ambulans pergi. Soalnya Prof. JJ masih berbicara dengan Prof.Dr.Rusnadi Padjung di teras luar masjid. Tidak enak saya tak menyapa Prof. JJ saat meninggalkan masjid.
Pada waktu yang bersamaan, teman yang menyalami di dalam masjid juga bergabung dengan saya. Setelah saya mengenali suaranya dengan saksamaa, astaga… ternyata Andi Wanua Tangke (AWT), salah seorang penulis kreatif yang dimiliki Sulawesi Selatan.
Pria kelahiran Soppeng, Sulawesi Selatan, 4 April 1964, menjelang akhir tahun 1980-an pernah mengambil mata kuliah yang saya ampu, Analisis Drama di Fakultas Sastra Unhas. Suami dari Andi Farisna ini termasuk sangat sedikit dari tidak banyak penulis yang mampu eksis dengan melahirkan dua penerbit buku, yakni Penerbit Refleksi dan Penerbit Arus Timur.
AWT yang menamatkan pendidikan di SD Pising, Soppeng (1976) - SMP Negeri Ta’juncu, Soppeng (1979), dan SMA Negeri 5 Makassar (1983) serta Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (1992), sebelum menjabat Direktur Penerbitan Pustaka Refleksi dan Arus Timur, sejak 2001 hingga kini, pernah berkarier sebagai wartawan ”Bina Baru”, Redaktur Pelaksana ”Berita Kota Makassar”, dan wartawan ”Media Bisnis”. Latar belakang pendidikan sarjana-nya dibekali pengalaman bertahun-tahun sebagai wartawan, AWT bulat meniti karier sebaga penulis sekaligus sebagai penerbit.
Kompas.com yang tayang 15 april 2011 melalui tulisan Maria S.Sinurat dan Nasrullah Nara menulis panjang tentang AWT hingga telah menarik perhatian pembaca media tanah air. Dia bercerita panjang tentang pergulatannya mulai membangun penerbitan Pustaka Refleksi 3 April 2001. Keberanian AWT ini dianggap tidak lazim karena menghadapi arus deras serbuan buku yang diterbitkan Pulau Jawa.
“Lewat penerbit buku Pustaka Refleksi, Andi Wanua Tangke mencoba ”melawan” sentralisasi konten buku pelajaran yang selama ini didominasi penerbit dari kota besar di Pulau Jawa,” kata AWT seperti ditulis Kompas.com yang kemudian menyebutkan kelahiran Pustaka Refleksi berawal dari keresahan akan minimnya bahan kepustakaan tentang kisah-kisah Sulawesi Selatan.
Buku-buku yang terbit umumnya dikemas terlalu ilmiah sehingga tak menarik minat anak muda. Dia berupaya mewujudkan terbitnya buku yang bertalian secara emosional dengan pembacanya melalui bahasa yang ringan.
Imbas mimpinya itu lahir dari rumah sederhana di gang sempit di Kota Makassar, Sulsel. Inilah ”markas intelektual” Wanua dan rekannya, Anwar Nasyaruddin (49, tahun 2011), untuk menekuni naskah yang siap diterbitkan. Dalam rentang waktu 10 tahun, penerbit itu telah menelurkan 369 judul buku. Terlepas dari lemahnya pengeditan dan kerancuan struktur bahasa Indonesia di sana sini, kehadiran buku-buku itu patut dimaknai sebagai upaya melestarikan cerita yang melegenda di masyarakat Sulsel.
AWT mengusung Pustaka Refleksi mencoba memanggungkan roh kearifan lokal Sulsel. Buku yang diterbitkan umumnya memuat nilai, mitos, dan tradisi yang melekat pada akar budaya empat suku di Sulsel. Sebutlah kisah tentang “silariang” (kawin lari) sebagai hal yang tabu atau “kasipalli” (tradisi kepercayaan nenek moyang) dan romantika Sawerigading serta We Tenriabeng (tokoh dalam epos I La Galigo).
Salah satu terbitan yang melejitkan nama Pustaka Refleksi adalah kisah tentang Qahar Muzakkar. Pejuang kelahiran Luwu, Sulsel, ini lebih dikenal sebagai pemberontak melalui gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Padahal, di beberapa daerah seperti Palopo, sosok Kahar dikultuskan sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno yang mengabaikan peran penting tentara luar Jawa dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI. Misteri kematian Kahar, yang tak secara gamblang diceritakan, terus menyisakan teka-teki. Celah ini digunakan AWT untuk menerbitkan kisah-kisah tentang Qahar, termasuk Misteri Qahar Muzakkar Masih Hidup, yang sudah dua kali dicetak.
Begitulah, melalui ritual salat jenazah seorang dosen Unhas, dua penulis bersua dan saya bisa sedikit merefleksikan perjalanan karier Andi Wanua Tangke sebagai seorang penulis dan penerbit buku yang masih langka.
“Kita sekarang umurnya sudah berapa?,” tiba saja AWT bertanya ketika kami sama-sama berdiri di pintu keluar masjid.
“Saya jalan 72 tahun secara biologis,” jawab saya.
“Itulah yang membuat kita tidak cepat pikun, karena otak terus bekerja,” sambungnya.
Saya tidak menyahut secara verbal, tetapi meng-iya-kan secara batin. Sama dengan AWT yang terus menulis dalam usianya yang akan menggapai usia 61 tahun pada 4 April nanti. Kami hampir tidak berhenti menulis setiap hari. AWT beberapa hari terakhir merilis kisah fiksinya “Tentara Gerilya”. Jika saya lihat tulisannya yang panjang tersebut bisa jadi, dia sudah mendekati bahwa kemampuan seorang penulis terkenal menggores kata per hari adalah 4.000 kata.
Berdasarkan penelitian, kebanyakan penulis hingga yang terkenalkan sekalipun menggunakan kata-kata di bawah 4.000 kata, termasuk kata-kata yang khas bagi seorang penulis dalam pemakaian bahasanya sehari-hari. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1976) memuat tidak kurang dari 23.000 kata dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus, 1993) memuat tidak kurang dari 71.000 kata pokok. Jika dalam pemakaian bahasa sehari-hari digunakan 3.000--4.000 kata, berarti sebagian besar kosakata dalam kamus tidak digunakan atau digunakan sesuai dengan situasi tertentu.
Hal itulah yang menyebabkan banyak kata yang terdapat dalam kamus, seperti: ‘semenjana’, (menengah, sedang), ‘senyampang’ (kebetulan, lagi), atau ‘terhablur’ (sudah menjadi hablur, benda keras yang bening), mungkin tidak dikenal oleh masyarakat umum. (M.Dahlan Abubakar).