Oleh : Yulius, Camat Tomoni Timur Kabupaten Luwu Timur
Era digital telah mengubah wajah dunia dengan kecepatan yang sulit dibayangkan. Teknologi informasi dan kecerdasan buatan (AI) bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan fondasi baru peradaban manusia.
Di tengah gelombang perubahan ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) berencana memasukkan kurikulum coding dan AI ke dalam sistem pendidikan dasar dan menengah. Langkah ini, meski patut diapresiasi, tidak boleh membuat kita lengah. Ada jurang lebar antara cita-cita dan realitas yang harus dijembatani.
Mengapa Coding dan AI Penting?
Coding, atau pemrograman, adalah bahasa masa depan. Ia bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan cara berpikir. Kemampuan untuk memecahkan masalah secara sistematis, logis, dan kreatif—yang dikenal sebagai computational thinking—adalah inti dari pembelajaran coding.
Sementara itu, AI atau kecerdasan buatan adalah teknologi yang semakin mendominasi berbagai sektor, dari kesehatan hingga transportasi. Memahami dasar-dasar AI akan membantu siswa tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta inovasi.
Di tingkat global, banyak negara telah melangkah lebih dulu. Inggris, misalnya, telah mengajarkan coding sejak 2014. Finlandia, yang sistem pendidikannya sering dijadikan rujukan, juga memperkenalkan konsep pemrograman sejak dini.
Indonesia, dengan populasi muda yang besar, memiliki potensi untuk menjadi pemain utama di bidang teknologi. Namun, potensi saja tidak cukup. Tanpa persiapan matang, rencana ini bisa berujung pada kesia-siaan.
Tantangan Infrastruktur: Kesenjangan yang Menganga
Salah satu tantangan terbesar adalah kesenjangan infrastruktur teknologi. Di kota-kota besar seperti Jakarta atau Bandung, mungkin tidak sulit menemukan sekolah dengan fasilitas komputer memadai dan akses internet cepat.
Namun, bagaimana dengan sekolah-sekolah di pedalaman Papua, Nusa Tenggara Timur, atau Kalimantan? Banyak sekolah di daerah tersebut bahkan belum memiliki listrik yang stabil, apalagi perangkat komputer atau akses internet.
Tanpa infrastruktur yang memadai, pembelajaran coding dan AI hanya akan menjadi mimpi belaka. Siswa mungkin hanya akan belajar teori tanpa kesempatan untuk praktik, yang justru merupakan inti dari pembelajaran coding.
Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya menjadi program "elit" yang hanya bisa dinikmati oleh sekolah-sekolah di kota besar, tetapi juga dapat diakses oleh semua siswa, di mana pun mereka berada.
Kesiapan Guru: Ujung Tombak yang Rapuh
Tantangan lain yang tak kalah besar adalah kesiapan guru. Mengajar coding dan AI bukan sekadar tentang menjelaskan sintaks pemrograman atau konsep machine learning.
Guru perlu mampu menciptakan lingkungan belajar yang interaktif dan menyenangkan, terutama untuk siswa sekolah dasar yang masih berada dalam tahap bermain. Sayangnya, banyak guru di Indonesia belum memiliki kompetensi di bidang ini.
Pelatihan guru menjadi kunci keberhasilan implementasi kurikulum baru. Namun, pelatihan ini tidak bisa dilakukan sekadar sebagai program satu atau dua hari. Guru perlu mendapatkan pendampingan berkelanjutan, akses ke materi pembelajaran yang relevan, dan kesempatan untuk berkolaborasi dengan praktisi di bidang teknologi. Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan insentif bagi guru yang bersedia mengembangkan kompetensi di bidang coding dan AI.
Kebijakan Pemerintah: Ambisi yang Perlu Diperkuat
Rencana Kemendikbudristek memasukkan coding dan AI ke dalam kurikulum adalah langkah yang patut diapresiasi. Namun, kebijakan ini perlu didukung oleh langkah-langkah konkret.
Pertama, pemerintah harus memastikan alokasi anggaran yang cukup untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur teknologi di sekolah-sekolah. Kedua, perlu ada roadmap yang jelas tentang bagaimana kurikulum ini akan diimplementasikan, termasuk tahapan pembelajaran yang disesuaikan dengan tingkat kematangan siswa.
Misalnya, di tingkat sekolah dasar, pembelajaran bisa dimulai dengan konsep dasar pemrograman melalui permainan atau alat visual seperti Scratch. Sementara di tingkat menengah, siswa dapat mulai mempelajari bahasa pemrograman yang lebih kompleks seperti Python atau JavaScript, serta dasar-dasar AI seperti machine learning dan data science.
Penting untuk memastikan bahwa kurikulum ini tidak menjadi beban tambahan bagi siswa, tetapi justru menjadi alat untuk menumbuhkan minat dan kreativitas mereka.
Kolaborasi Kunci Menuju Keberhasilan
Implementasi kurikulum coding dan AI tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Kolaborasi dengan pihak swasta, komunitas teknologi, dan lembaga pendidikan internasional dapat mempercepat proses ini.
Perusahaan teknologi seperti Google, Microsoft, atau Gojek bisa berperan dalam menyediakan platform pembelajaran, alat, atau bahkan program mentorship. Sementara itu, lembaga pendidikan internasional dapat membantu dalam pengembangan kurikulum dan pelatihan guru.
Selain itu, peran orang tua juga tidak kalah penting. Di era digital, orang tua perlu dilibatkan dalam proses pembelajaran anak-anak mereka. Misalnya, dengan memberikan pemahaman tentang pentingnya coding dan AI, atau bahkan mengikuti workshop bersama anak-anak mereka.
Mimpi Besar untuk Masa Depan
Memasukkan coding dan AI ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah adalah langkah penting untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia menghadapi era digital.
Namun, tantangan seperti kesenjangan infrastruktur dan kesiapan guru tidak boleh diabaikan. Dengan kebijakan yang tepat, alokasi anggaran yang memadai, serta kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, Indonesia dapat mengatasi tantangan ini dan menciptakan sistem pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masa depan.
Pada akhirnya, tujuan utama bukan hanya mencetak programmer atau ahli AI, tetapi membentuk generasi yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan adaptif dalam menghadapi perubahan zaman.
Dengan begitu, Indonesia tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga produsen inovasi yang mampu bersaing di kancah global. Ini adalah mimpi besar, tetapi dengan kerja keras dan kolaborasi, mimpi ini bisa menjadi kenyataan.
Namun, seperti kata pepatah, "jalan panjang dimulai dengan langkah pertama." Pertanyaannya, sudah siapkah kita melangkah? #yul.lutim@gmail.com