PEDOMANRAKYAT, MEDAN – Penerapan asas Dominus Litis dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) haruslah mengedapankan prinsip kehati-hatian dan prinsip keteguhan. Sebab, pada dasarnya prinsip-prinsip asas Dominus Litis dalam Hukum Pidana itu adalah kewenangan menentukan Perkara.
Kejaksaan memiliki kewenangan untuk menentukan suatu Perkara Pidana akan diajukan ke Pengadilan atau tidak. Kemungkinan Potensi terjadinya penyalahgunaan asas tersebut sehingga dapat digunakan oleh Kejaksaan untuk menunda atau mengganggu proses jalannya Peradilan.
Hal tersebut disampaikan, Dosen tetap Hukum Pidana pada Program Studi Magister Ilmu Hukum di Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia (UPMI) Medan dan Dosen Luar Biasa di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Medan, Dr. Khomaini, SE, SH, MH, CPArb dalam keterangannya, Senin (10/2/2025).
Lebih jauh dijelaskannya, di dalam sebuah peradilan Pidana adalah sebuah sistem yang terdiri dari subsistem. Subsistem Kepolisian yaitu Penyidikan, Kejaksaan Penuntutan, Pengadilan yaitu Hakim memutuskan suatu perkara dan Lembaga Permasyarakatan adalah berfungsi sebagai Eksekutorial dan Pembinaan.
Semua lembaga tersebut harus mempunyai kewenangan dan sinergitas yang sama. Sistem itu harus ditopang oleh Sub Sistem yang sederajat, karena apabila ada dominasi kewenangan, maka ada kemungkinan terjadi dan bisa saja terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Oleh karena itu penerapan Dominus Litis di dalam revisi KUHAP perlu prinsip kehati-hatian dan prinsip keteguhan. Tidak pernah ada sebuah Institusi/lembaga yang menjadi super power yang kemudian menjadi sangat penting untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dan keteguhan di dalam proses penerapan sebuah sistem.
Jaksa tidak berwenang menjadi penyidik kasus korupsi. Jika berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang ada, Kejaksaan dianggap tidak memiliki kewenangan sebagai Penyidik didalam Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang berhak menangani kasus korupsi hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku sesuai dengan UU Kejaksaan yang terbaru yaitu UU No.11/ 2021 “Tidak ada kewenangan Kejaksaan menangani Tipikor”.
“Awalnya Kejaksaan memang memiliki kewenangan melakukan Penyidikan Tipikor, di mana pada UU N0.15/ 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI pada Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Kejaksaan No.15/1961 menyatakan bahwa Kejaksaan mempunyai tugas mengadakan Penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran, serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam UU Hukum Acara Pidana dan lain-lain Peraturan Negara,” bebernya.
Hukum Pidana yang berlaku pada saat itu adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) kewenangan Kejaksaan sebagai Penyidik juga diatur dalam UU Tipikor No.24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tipikor. Dalam perjalanan waktu, UU Tipikor No.24/Prp/1960 diganti dengan UU No.3/1971 tentang Pemberantasan Tipikor, dimana dalam Undang-Undang itu Kejaksaan juga masih memiliki kewenangan sebagai Penyidik Tipikor.
Seiring berjalannya waktu, diundangkan KUHAP pada 1981 yang menyatakan bahwa tidak berlakunya ketentuan-ketentuan dalam HIR sepanjang menyangkut Hukum Acara Pidana. Bahkan KUHAP memisahkan secara tegas antara fungsi penyidikan yang dijalankan Pejabat Polri atau PNS tertentu, dengan fungsi penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim yang dijalankan oleh Jaksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 6. Dengan demikian jelaslah bahwa Jaksa tidak memiliki kewenangan lagi sebagai Penyidik. Karena KUHAP menghendaki pemisahan yang tegas antara Fungsi Penyidikan dengan Fungsi Penuntutan.